Kamis, 17 Februari 2011

Telaah Pemikiran Pendidikan menurut Ibnu Khaldun

A. Biografi dan pendidikan Ibnu Khaldun
Biografi
Ibnu Khaldun lahir pada tanggal 1 bulan Ramadhan pada tahun 732 H/ 27 Mei 1332, beliau memiliki nama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut (Yaman) yang bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 M. Beliau lahir dari keluarga yang cukup terpandang. Beberapa kerabat dan keluarganya menjadi pemimpin politik di Morrish (Spanyol). Ayahnya, Abu Abdullah Muhammad merupakan salah satu tokoh politik , akan tetapi, akhirnya dia lebih memilih untuk menekuni ilmu pengetahuan dan sufisme. Ayahnya wafat pada tahun 794/1384 M (begitu juga ibunya), dikarenakan wabah Pes (749 H). Wabah Pes menyerang Tunisia dan beberapa daerah Masyriq dan Maghrib. Kemudian pada tahun 1349, Ibnu Khaldun hijrah hijrah berbondong-bondong dengan Sultan Abu al Hasan (penguasa daulah bani Tamrin) dan beberapa ulama yang selamat dari wabah Pes menuju Magrib.
Selanjutnya pada tahun 1362 Ibnu Khaldun dan keluarganya pindah ke Spanyol dan bekerja sama dengan raja Granada. Akan tetapi, beliau tidak lama tinggal di Spanyol, beliau memilih kembali lagi ke Afrika. Sekembalinya di Afrika dia di angkat menjadi perdana menteri oleh Sultan Aljazair. Sepanjang tahun 1362 sampai tahun 1375 terjadi pergolakan politik, yang akhirnya menyebabkan beliau mengundurkan diri dari dunia politik dan pergi ke Maroko dan Mesir.
Di Mesir, beliau semakin giat dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Disinilah, beliau melakukan perbaikan-perbaikan terhadap beberapa kitab terdahulunya. Di mesir juga beliau menjadi dosen di Universitas Al Azhar pada masa dinasti Fatimiyah.



Ada yang membagi biografi Ibnu Khaldun sebagai berikut
(oleh Abu Al Maira di/pada April 17, 2007.)
1. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.
Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir;
2. Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan.
3. periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu setelah keluar dari penjara berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-’ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar.

Pendidikan Ibnu Khaldun
Masa kecil Ibnu Khaldun sudah mulai diberi bekal pengetahuan ilmu agama oleh orang tuanya. Beberapa ilmu yang dikaji adalah Al-qur’an, Hadits, Fikih, Sastra, Nahwu dan Sharaf. Kemudian menjelang dewasa, beliau mulai lebih luas dalam mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu balaghah, fisika dan matematika, filsafat).
Diantara beberapa guru beliau yang paling berpengaruh terhadap pemikiran Ibnu Khaldun adalah :
a. Burral Al anshari (padanya ibnu khaldun belajar alqur’an dan qiraat assab’ah)
b. Al Wadisyasi (ilmu hadits, bahasa arab dan fiqih)
c. As Salam (kitab almutawatta karya Imam Malik)
d. Al ibili, Al hadrami, As Satti (filsafat, ilmu agama,ilmu pasti, logika)
dan masih banyak lagi.

Ibnu Khaldun dan Neo-Platonisme
Pemikiran filsafat islam klasik sangat dipengaruhi oleh dua tokoh filsafat yunani yakni Aristoteles dan Plato. Dalam pembahasan ini, tokoh yunani yang menjadi inspirasi Ibnu Khaldun adalah Plato, Ibnu Khaldun sangat kagum dengan beberapa konsep/pengetahuan/filsafat yang di bawakan oleh Plato. Beberapa ajaran plato yang dijadikan pijakan Ibnu Khaldun :
a. Ada suatu spiritualitas dan suatu rasionalitas yang meliputi seluruh alam semesta.
b. manusia melalui pengguanan rasionya dapat mengedalikan emosi-emosi yang mendasar , kodratnya yang irrasional, selain itu dengan akal akan diperoleh kebeikan moral dan spiritual’.
c. Pengetahuan kefilsafatan tentang kebenaran, kebaikan adalah sesuatu yang esensial bagi perkembangan kebenaran dan bimbingan yang tepat bagi manusia.
d. Dan sebagainya.

Pendidikan menurut Ibnu Khaldun
A. Tujuan Pendidikan
Pendidikan pada hakikatnyaadalah usaha untuk mengembangkan berbagai potensi yang ada pada diri manusia yang kemudian akan ditransformasikan di level masyarakat guna mencapai kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Beberapa tujuan pendidikan sebagai berikut :
1. Peningkatan Pemikiran (peran akal eksperimental)
Pengaruh Neo-Platonisme sangat terlihat dalam tujuan peningkatan pemikiran. Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa akal haruslah di beri porsi lebih dalam proses pencarian pengetahuan (pendidikan). Hal ini nampak sama dengan pendapat Plato bahwa ‘ manusia melalui pengguanan rasionya dapat mengedalikan emosi-emosi yang mendasar , kodratnya yang irrasional, selain itu dengan akal akan diperoleh kebeikan moral dan spiritual’.
Melalui peran akal, manusia akan mengetahui beberapa pengetahuan yang sudah ada terlebih dahulu dan dari pengetahuan yang tersebut, manusia dapat melakukan perubaha. Oleh sebab itu, seharusnya pendidikan disini adalah untuk meningkatkan kecerdasan dan kemempuan manusia dalam berpikir serta untuk memperoleh ketrampilan (al-malakah atau skill) dari aktifitas akalnya. Dengan pengetahuan yang memadahi, manusia akan semakin rajin dalam beraktifitas untuk selalu melakukan perubahan yang lebih baik. (dalam hal ini Ibnu Khaldun sejalan dengan ayat alqur’an yang artinya “ Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga kaum tersebut mengubahnya sendiri.
2. Peningkatan kehidupan masyarakat agar lebih baik
Tujuan pendidikan disini adalah untuk menciptakan tatanan sosial masyarakat yang lebih baik. Manusia yang sudah memiliki kemampuan akal yang lebih dan keahlian tertentu dalam masyarakat seharusnya mampu membawa/ mentransformasikan pengetahuan dan keahliannya pada masyarakat. Dengan demikian kekacauan masyarakat akan dapat dikurangi karena orang melakukan kejahatan karena dia tidak mengetahui kebaikan (yang garus miring adalah pemahaman atas Neo-Platonisme).
3. Peningkatan kerohanian (keimanan dan ketakwaan kepada Allah).
Aspek ulluhiyah merupakan unsur terpenting dalam pendidikan. Praktek peribadatan yang sudah ada, berkhalwat dan menyendiri (uzlah) untuk tujuan ibadah merupakan kunci untuk mendapatkan kehidupan akhirat yang lebih baik. (pengaruh tasawuf dari ayahnya).

B. Kurikulum Pendidikan dan Klasifikasi ilmu
Ibnu Khaldun membuat klasifikasi ilmu agar lebih memudahkan peserta didik dalam mendalami pelajaranya. Beliau juga menganjurkan bahwa kurikulum haruslah sesuai dengan tujuan pendidikan selain itu kurikulum haruslah sesuai dengan akal dan kejiwaan peserta didik. (dalam hal ini adalah sesuai kebutuhan).
Ibnu khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam :
a. Ilmu Lisan/ bahasa adalah ilmu tentang tata bahasa (gramatika, linguistik) dan sastra bahasa.
b. Ilmu Naqli adalah ilmu yang diambil dari / di peroleh/ di istimbatkan keapada alqur’an dan hadits/ sunnah nabi.
Diantaranya : Alqur’an dan Hadits, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, ilmu Kalam, Ilmu At-tasawwuf dan Ilmu ta’bir Arru’ya. (pembagian menurut Ibnu Khaldun).
c. Ilmu Aqli adalah ilmu yang diperoleh dari aktifitas berfikir (Rasionalitas Eksperimental), perolehan ilmu ini adalah hasil keterpaduan antara kemampuan akal dan indra.
Diantaranya : a. Ilmu Logika (Mantiq)
b. Ilmu Fisika : ilmu kedokteran dan pertanian.
c. Ilmu Metafisika (ilmu al ilahiyat).
d. Ilmu matematika : Geografi, Aritmatika, Aljabar, Ilmu musik, ilmu astronomi (nujum). (menurut Ibnu Khaldun)
Tambahan untuk era sekarang yang termasuk katagori ilmu aqli; filsafat, sosial (muqaddimah Ibnu Khaldun), plitik, administrasi negara, dll.
Dari beberapa ilmu diatas Ibnu Khaldun menyusunnya menjadi kurikulum yang berfaedah bagi peserta didik.
Diantaranya :
a. Ilmu Syariah dengan semua jeniusnya.
b. Ilmu Filsafat (rasio) : Ilmu Alam (Fisika) dan Ilmu Ketuhanan (Metafisika).
c. Ilmu Alat yang membantu dalam pemahaman terhadap agama: Ilmu bahasa, Gramatika, dll.
d. Ilmu Alat yang digunakan untuk membantu Ilmu Filsafat : ilmu mantiq, dan ushul fiqh.
Dari keempat penggolongan tersebut diibagi lagi menjadi 2 kelompok :
1. Ilmu pokok dan Ilmu Filsafat adalah al ulum al maqsudah bi zatina. Namun disini beliau lebih mengutamakan ilmu Syariah, karena Syariah berasal dari Allah.
2. Ilmu Alat yang membantu agama dan Ilmu Alat yang membantu Ilmu Filsafat adalah ilmu yang duigunakan untuk membantu memahami teks-teks mulia (al nusush al muqaddasah).

C. Metode Mengajar (pemahaman dari ensiklopedi tokoh pendidikan islam)
Dalam proses pengajaran seorang pendidik hendaknya dengan metode yang baik dan mengetahui faedah dari penggunaan metode tersebut. Guru tidak boleh kasar dalam mengajar karena hal itu akan membuat peserta didik menjadi malas, pembohong dan tidak mandiri. Selain itu, pendidik juga harus bersikap sopan.
Metode kosentris sangat dianjurkan dalam beberapa pokok pembahasan. Metode ini dimuali dengan pemberian soal-soal dalam setiap cabang pembahasan yang dipelajarinya. Keterangan materi hendaknya bersifat umum yang nantinya akan akan lebih spesifik lagi ketika peserta didik memahami materi tersebut. (analisis terhadap metode ini membuat penulis curiga terhadap pemikiran Ibnu Khaldun, bisa ditebak bahwa pemikiran Neo-Ariestoteles juga mempengaruhi pemikiran Ibnu Khaldun).

D. Sifat Pendidik (kaitan dengan metode pembelajaran)
Seorang pendidik hendaknya memiliki beberapa sifat sebagi berikut :
a. Pendidik hendaknya lemah lembut.
b. Pendidik hendaknya menjadi Uswatun Khasannah.
c. Pendidik hendaknya memahami kondisi peserta didik ketika kegiatan balajar mangajar. Artinya apa?, dengan kemampuan pendidik dalam mengetahui keadaan psikologis peserta didik ketika proses belajar, maka akan memnuculkan metode pengajaran yang proposional.
d. Pendidik hendaknya memiliki keahlian dalm memnafaatkan waktu luang dengan kegiatan yang produktif. Semisal ketika peserta didik jenuh dengan materi pelajaran hendaknya pendidik menyanyikan syair, sholawat dan semacamnya.
e. Pendidik haruslah profesional, yakni memahami materi yang diajarkan. Selain itu dia juga harus memiliki wawasan luas tentang pengetahuan yang menopang materi tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, karya Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Syamsul Nizar, M.A Penerbit Quantum Teaching
Muqaddimah Ibnu Khaldun Penerbit Pustaka Firdaus
Kamus Filsafat karya Lorens bager Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Intisari makalah diskusi rutin Rscj (red soldiers community of jogjakarta)
Selengkapnya...

Kiri Islam Hassan Hanafi

Kazuo Shimogaki, pemerhati Timur Tengah asal JJepang, merasa terpesona pada pemikiran Hassan Hanafi dengan Kiri Islamnya. Kiri Islam berupaya menggali dan
mewujudkan makna revolusioner dari agama, sebagai konsekuensi dari
keberpihakannya kepada rakyat yang lemah dan tertindas (al-mustadl`afîn) .
Sehingga ia mendapatkan tempatnya tersendiri dalam konstelasi
"pemikiran-pemikiran alternatif".
"Kiri Islam bukanlah Islam yang berbaju Marxisme, karena itu menafikan makna
revolusioner dari Islam sendiri. Ia juga tidak berarti bentuk eklektik antara
Marxisme dengan Islam, karena hal demikian hanya menunjukkan bentuk pemikiran
yang tercerabut dari akar, tanpa pertautan yang erat dengan realitas kaum
muslimin. Namun jelas, Kiri Islam akan mengusik kemapanan: kemapanan politik dan
agama." Demikian tegas Kazuo Shimogaki dalam bukunya, yang diterjemahkan LKIS
Yogyakarta: Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis
Pemikiran Hassan Hanafi.
Buku tersebut diterjemahkan dari judul aslinya: Between Modernity and
Postmmodernity The Islamic Left and Dr Hassan Hanafi's Though: A Critical
Reading. Buku terjemahan yang menjadi best seller tersebut, dibedah dalam Talk
Show Khazanah Progresif, kerjasama P3M Jakarta dengan 97, 5 Jakarta News FM,
pada Senin - Jum'at, 7-11 Maret 2005, pukul 21.15 - 24.00 Wib yang lalu.
Radikalitas, progresivitas, kontekstual, dan resistensi yang menggelora terhadap
arus hegemoni peradaban Barat, adalah nuansa-nuansa Kiri Islam yang segera
menggeliatkan Shimogaki pada arus baru "dekonstruksi peradaban" yang dewasa ini
sangat deras mengalir dan dikenal luas sebagai gelombang "posmodernisme". Yaitu
rangkaian tendensi teoritik dalam berbagai bidang, baik seni maupun pengetahuan,
untuk membongkar "aporia" peradaban modern yang dibangun di atas landasan
humanisme dan rasionalisme dalam pikiran manusia dan membunyikan bias kekerasan
erosentrisme-imperialistik dalam wacana modernisme.
Menurut Kazuo, Hassan Hanafi meskipun menolak dan mengkritik Barat, namun ia tak
pelak lagi, terhadap ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme, dan
pencerahan yang telah mempengaruhi pemikirannya. Lanjut Shimogaki, Hassan Hanafi
tergolong seorang modernis-liberal, seperti Luthfi al-Sayyid, Thâha Husain, dan
al-Aqqâd. Salah satu keprihatinan utama Hassan Hanafi adalah bagaimana
melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam bergerak menuju
pencerahan yang menyeluruh. Lanjut Shimogaki, kita dapat menengarai tiga wajah
dalam rangka memantapkan posisi pemikirannya dalam dunia Islam, terutama dalam
kaitannya dengan Kiri Islam.
Wajah pertama, peranannya sebagai seorang revolusioner. Wajah kedua, sebagai
figur seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik, seperti Muhammad Abduh.
Wajah ketiga, sebagai penerus gerakan al-Afghani (1838-1896), yaitu dalam hal
perjuangan melawan imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam.
Sebagai seorang reformis pemikiran Islam, Hanafi mengunggulkan satu bagian dari
khazanah klasik yang berbasis pada rasionalisme, dan ia tidak kompatibel dengan
posmodernisme. Ini menurut Kazuo menjadi problem serius dalam pemikiran Hanafi.
Dalam hal kritik terhadap Barat, meskipun Hassan hanafi secara langsung dan
bersemangat mengkritik Barat, namun menurut Kazuo, ia tidak pernah
mendefinisikannya secara tuntas. Tapi itu, sangat dapat dimengerti, karena Barat
bagi Hanafi adalah sebuah entitas negara-negara atau entitas politik yang
terkait dengan imperialisme. Dengan demikian dalam pandangan Kiri Islam, Barat
adalah sebuah agregat dari suatu kawasan, rakyat, peradaban, masyarakat, dan
politik yang terkait dengan penjajahan. Ia menegaskan bahwa salah satu tugas
Kiri Islam adalah mengembalikan Barat pada batas alamiahnya. Ini tidak berarti
mengembalikan "Barat" secara geografis, tetapi menghalau segala pengaruh
kultural Barat yang merasuk ke dalam rusuk umat Islam dan bangsa-bangsa muslim
(hlm. 6)
Sekilas tentang Munculnya Kiri Islam
Kemunculan Kiri Islam diawali dengan jurnal berkalanya Hassan hanafi, berjudul
al-Yasâr al-Islâmî: Kitâbât fî al-Nahdlah al-Islâmiyyah (Kiri Islam: Beberapa
Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Di dalamnya didiskusikan
beberapa isu penting berkaitan dengan Kebangkitan Islam. Dapat dikatakan, secara
singkat Kiri Islam bertopang pada 3 (tiga) pilar untuk kebangkitan Islam:
mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan
umat. Pilar pertama, revitalitas khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan
perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam itu. Rasionalisme,
menurutnya, merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan serta
memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam.
Kedua, perlunya menantang peradaban Barat. Untuk ini, ia mengusulkan dan
mengusung "Oksidentalisme" sebagai jawaban "Orientalisme" dalam rangka
mengakhiri mitos peradaban Barat. Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam.
Untuk hal ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nashsh)
, dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat
berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi, dunia Islam kini sedang
menghadapi 3 (tiga) ancaman: yaitu (1) imperialisme, zionisme, dan kapitalisme
dari luar; (2) kemiskinan; (3) ketertindasan dan keterbelakangan dari dalam.
Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini. Dengan demikian, Kiri Islam
relevan diterapkan.
Menurut Hassan Hanafi, ada beberapa kecenderungan yang penting didiskusikan bagi
masa depan dunia Arab-Islam. Pertama, adanya kecenderungan kooptasi agama oleh
kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Kedua,
liberialisme, --di mana adalah subjek Hassan Hanafi. Ketiga, kecenderungan Marx
yang bertujuan memapankan suatu partai yang berjuang melawan kolonialisme, telah
menciptakan dampak-dampak tertentu, tapi belum cukup untuk membuka kemungkinan
berkembangnya khazanah intelektual muslim. Keempat, kecenderungan revolusioner
terakhir telah membawa banyak perubahan fundamental dalam struktur sosial dan
kebudayaan Arab-Islam, tapi perubahan ini tidak mempengaruhi kesadaran massa
muslim.
Oleh kerena itu, tujuan Kiri Islam adalah mengatasi kecenderungan-kecenderungan
itu dan merealisasikan tujuan-tujuannya, termasuk revolusi nasional yang
berbasis pada prinsip revolusi sosial melalui khazanah intelektual umat.
Menurut Shimogaki, dapat disimpulkan bahwa kemunculan sebuah jurnal baru,
seperti Kiri Islam itu, tepat waktu untuk mempengaruhi dunia Arab Islam (hlm. 9)

Di bab I buku ini, kazuo melihat kerangka metodologis Islam dan Posmodernisme.
Kiri Islam berpandangan Tauhid, baik dalam hubungan vertikal, maupun horizontal.
Dalam hubungan antara Tuhan dan dunia adalah hubungan antara Pencipta dan yang
diciptakan, jadi hubungan sebab dan akibat penciptaaan, bukan seperti sinar
terhadap lampu atau kesadaran manusia terhadap manusia. Dalam hal ini,
keberadaan manusia menjadi sangat relatif di hadapan Tuhan, dan setiap manusia
diciptakan langsung mempunyai hubungan dengan Tuhan. Mengenai yang kedua,
pandangan dunia Tauhid, dalam kehidupan sosial muslim adalah bahwa seluruh aspek
kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan ke dalam "jaringan relasional
Islam". Jaringan ini diderivasikan dari pandangan dunia Tauhid, yang mencakup
aspek-aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan materiil, sosial dan
individual. Jaringan relasional ini bisa diuji melalui ibadah (lima pilar
kewajiban Islam) yang diatur oleh syari'at Islam, yakni: syahadat, shalat, shaum
(puasa), zakat, dan haji.
Singkatnya, pandangan tauhid tidak memisahkan antara materi dan jiwa. Segala
sesuatu dipersatukan dalam zat yang transendental Tuhan. Semuanya sama di
hadapan-Nya. Menurut Kazuo, pandangan Tauhid juga sebuah pandangan relasional.
Dengan pandangan relasional ini, ulama menjadi penjaga agar syariat selalu
mengatur seluruh aspek kehidupan msulim yang berkenaan dengan lima pilar yang
diatur syariat. Meskipun kelima hal itu merupakan kewajiban "keagamaan" namun
tindakan kaum muslim tidak terbatas pada aspek kehidupan spiritual individu,
tetapi mencakup aspek-aspek fisik, sosial, bahkan ekonomi dan politik setiap
muslim.
Kekuasaan Barat telah merasuk kuat di dunia Islam. Dalam hal ini, menurut Kazuo
Shimogaki, "Kiri Islam adalah salah satu bentuk perlawanan. Kita mesti
membacanya dari sudut pandangan ini". Tegasnya.
Menurut Kazuo, karena adanya konfrontasi antara dunia Islam dan Barat, dan
perlawanan yang dihasilkan, metode analisis Hassan Hanafi tidak lagi mempunyai
pijakan relasional, meski ia menyerukan Revolusi Tauhid, yang secara teoritik
justeru relasional. Menurutnya, "Jika Hassan Hanafi menerapkan suatu metode
relasional, khususnya dalam membangun ilmu sosial baru dan mengkaji peradaban
barat, niscaya sarjana Muslim lain akan dapat menemukan perspektif baru dalam
kajian pandangan dunia Tauhid. Tidak hanya itu, ia akan memperoleh tanggapan
positif dari kalangan posmodernis di Barat". Demikian saran Kazuo.
Selengkapnya...

Mencari Islam Indonesia

To Stand within tradition does not limit of knowledge, but makes it possible.
Hans G. Gadamer, truth and method, London, 1975, hal 324

Ada adagium yang diyakini kebenarannya di kalangan umat islam, yakni al-islam sholih fi kulli al-zaman wal-makan. Islam dipandang sebagai agama yang senantiasa sesuai, cocok, relevan di setiap konteks waktu dan ruang. Islam senantiasa meruang dan mewaktu. Tidak pernah ketinggalan zaman. Segala sesuatu telah diatur dalam Islam. Tidak ada yang tidak diatur dalam Islam. Dalam bahasa filsafat dikatakan sebagai membawa kebenaran perenial. Hadits nabi dalam haji wada’ atau isyarat Al Qur’an bahwa tidak ada satupun yang dilupakan oleh Alloh SWT dalam kitab suci, merupakan rujukan yang menjadi dasar keyakinan teologis di atas. Namun posisi ontologis dan epistemologis seperti ini bukan tanpa persoalan, bahkan problematik, ketika berhadapan dengan tradisi intelektual yang menolak dogmatisme tanpa rasionalitas.
Gempuran rasionalitas tersebut di satu sisi meninggalkan sekian persoalan yang nyaris tak kunjung usai, di sisi internal intelektual Islam memunculkan beragam penafsiran, mulai dari yang apologetic sampai kritis, yang datang silih berganti. Semuanya bernafas sama, berkehendak mempertahankan tesa di atas. Bedanya, pandangan yang konservatif datang tanpa reasoning memadahi, sedangkan pandangan yang, katakanlah, kritis, muncul dengan sekian tesa. Dari penafsiran yang canggih hingga ada yang mengatakan bahwa beberapa surat Al Qur’an sudah tidak relevan lagi, dan karenanya lebih baik “dielimininasi” dari kitab suci. Begitulah.
Hiruk pikuk tersebut pada awalnya terjadi di dunia Arab sana. Muncullah apa yang disebut dengan firoq (sekte-sekte/aliran-aliran) dalam Islam. Dalam ilmu kalam klasik, kita menjumpai mereka sebagai ahlus-sunnah, mu’tazilah, jabbariyyah, jahmiyyah, bathiniyyah, qodiriyyah, dhahiriyyah, syiah, sampai ikhwanus-shofa. Keberadaan berbagai aliran ini juga dikonfirmasi oleh sebuah hadits. Inilah yang disebut dengan, dalam bahasa postmodernisme, narasi-narasi besar, yang sesungguhnya menyembunyikan sekian varian. Maksudnya, konteks budaya, social, politik, ekonomi, bahasa, tradisi, dan sebagainnya, menghasilkan suatu manifestasi Islam yang amat beragam sekalipun masih dalam narasi besar di atas. Antropolog Geertz menyebut, Islam ala Jawa, Islam ala Maroko, dan lainnya, sebenarnya tetaplah Islam, hanya konteks budayanya yang menjadikan manifestasi empirisnya kelihatan berbeda.
Mengapa Islam yang satu menjadi berwarna-warna? Paling tidak terdapat dua sebab yang dapat menjelaskannya. Pertama, dampak dari tekanan eksternal, yaitu munculnya realitas social baru atau problem social baru yang meniscayakan penjelasan teologis, yang dalam bahasa sosiologi disebut sebagai social forces. Yang kedua, pengaruh tradisi intelektualisme baik yang berasal dari mistisime Persia, rasionalisme Yunani, maupun mistisisme India, atau intelectual forces. Juga karena dinamika intelektual Islam sendiri. Seperti terungkap dalam alasan Imam Malik menolak ketika mazhabnyaa hendak dinegarakan, dijadikan mazhab resmi negara. Alasannya, negaranisasi mazhab berimplikasi pada homogenisasi wacana, padahal, para sahabat sudah tersebar di berbagai daerah, yang tentu memiliki konstruks wacana tersendiri sesuai setting sosial kultural politiknya.
Sering dengan pergerakan manusia, baik karena factor militer, politik, maupun ekonomi, menyebarlah Islam. Ke Eropa, Afrika, juga Asia. Sampailah juga ke Indonesia, melalui Aceh, kemudian masuk ke Jawa. Sebagaimana di dunia Arab, Islam di Indonesia pun memiliki wajah yang beragam. Hanya saja keberagaman ini memiliki corak berbeda dengan dunia Arab. Islam Indonesia memang mengenal narasi-narasi besar di atas. Namun sebatas wacana. Dalam pengertian, diperoleh melalui kitab-kitab yang dibawa atau dipelajari di Arab. Bukan merupakan hasil teorisasi kenyataan social. Narasi-narasi tersebut tidak memiliki basis social signifikan di bumi Indonesia, sebagaimana di Arab.
Sedangkan arus utama keislaman yang berkembang dapat dikatakan dalam garis besar ahlus-sunnah. Dalam garis ini kemudian muncul apa yang dalam ilmu social dikategorikan sebagai Islam modernis dan Islam tradisionalis. Akar intelektual keduanya sama-sama dari dunia Arab. Aliran kecil lainnya juga berkembang, seperti syiah, ahmadiyyah, islam kejawen, dan lainnya, hingga sekarang. Masing-masing varian diusung bukan hanya oleh satu organisasi social keagamaan.
Dalam waktu yang cukup lama, diskursus Islam di Indonesia diwarnai oleh dikotomi tersebut. Sejak decade 90-an muncul warna baru dalam diskursus keislaman. Muncullah apa yang disebut dengan Islam pembebasan, Islam kiri, Islam progresif, Islam Liberal, Islam transformatif, Islam pluralis, islam postdogmatik, Islam emansipatoris, dan lainnya. Islam tradisionalisme, atau modernisme, sayup-sayup masih menunjukkan kekukuhannya di lapisan masyarakatnya masing-masing. Menjadi pijakan nilai, panduan keseharian, dan pusat orientasi hidup.
Seorang Islamolog, Dr Sunardi, memetakan kajian Islam di Indonesia berdasar basis epsitemologisnya. Pertama, islam yang berbasis ilmu-ilmu keislaman tradsional. Kedua, islam yang berbasis ilmu social humaniora. Ketiga, islam yang berbasis ilmu social kritis. Keempat, perkembangan terbaru, islam yang berbasis cultural studies. Pemetaan tersebut sebenarnya tidak saling berbenturan. Hanya saja, kajian yangt terakhir melihatnya dari sudut pandang epistemologis.
Pertanyaan yang menggelisahkan adalah, apakah warna-warni keislaman di atas, lebih merupakan kebutuhan obyektif, atau bagian dari fashion? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menyelami atau memahami struktur yang disebut dengan kebutuhan obyektif. Pemahaman akan “kebutuhan obyektif” inilah yang akan menghasilkan suatu formula Islam Indonesia yang indegenous. Di sini penulis hanya akan memberikan beberapa sketsa besar yang menjadi tantangan bagi pengembangan keislaman. Pijakannya adalah Islam sebagai rahmat semesta alam. Artinya, Islam yang dikembangkan di Indonesia, dengan melihat pluralisme agama, etnis, ras, kultur, adat istiadat, problematik sosial ekonomi, jelas mustahil jika berbentuk tunggal, homogen.
Pertama, problem ketidakadilan ekonomi politik yang secara massif melanda sebagian besar masyarakat Indonesia. Tradisi marxis menyebutnya sebagai problem penghisapan yang mendehumanisasi manusia. Jika dilihat dari basis sosialnya, inilah wacana keislaman yang dibutuhkan oleh masyarakat tertindas, akar rumput, atau dalam bahasa seorang penulis, disebut sebagai Islam proletar.
Kedua, problem modernitas sosial yang menggiring masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas dalam lautan kesadaran palsu, kultur konsumerisme, keterasingan, disorientasi, dan lainnya. Struktur, corak, dan format keislamannya memiliki karakter berbeda dengan yang pertama.
Keempat, problem pluralitas kebudayaan, lokalitas, etnisitas, dan lainnya yang memiliki “kuping epistemologis” berbeda-beda. Problem ini menerobos dua problem di atas. Gus Dur merespons problem ini dengan konsep pribumisasi Islam. Lokalitas ini, seiring dengan mengglobalnya dunia, semakin penting sebab akan menjadi “habitus kekuasaan” paling real dalam tata dunia.
Kelima, problem-problem kesetaraan, diskriminasi, isu-isu rasial, dan berbagai isu lainnya yang muncul seiring dengan berkembangnya life-style.
Keenam, problem terjadinya pergeseran zaman dari modernisme ke postmodernis. Pergeseran ini, menurut Bordieu, di tingkatan sosiologis menggeser pijakan manusia dalam bertindak dari berpijak pada nilai ke berpijak pada strategi. Di tingkatan moral, terjadi pergeseran dari semakin kabur dan tidak relevannya batasan baik-buruk, halal-haram.
Masuknya Islam di Indonesia dalam berbagai dataran tersebut akan meletakkaan Islam bukan hanya sebagai kekuatan moral, kekuatan nilai, tapi juga kekuatan politik yang mampu mendorong proses transformasi sosial masyarakat, baik dalam level global, nasional, maupun lokal. Untuk pengembangan ke arah sana, dibutuhkan setidaknya dua hal. Yaitu mentransformasikan tradisi Islam dari kritik moral ke kritik sosial. Untuk tugas yang satu ini, tradisi ilmu-ilmu kritis sudah tidak memadahi lagi, sebab sejauh ini, perkembangan paling canggih baru dalam tahapan kritik sosial, emansipasi, liberasi, dan lainnya. Sudah saatnya dikembangkan tradisi pasca-liberasi, pasca-kritis. Jika tidak, Islam Indonesia pun akan bernasib sama dengan filsafat, yang seperti dikatakan Hegel, laksana burung minerva, burung yang baru mau terbang ketika hari telah senja. Alias selalu terlambat. Kedua, seperti disarankan Sunardi, membangun dialog antar-tradisi intelektual yang telah berkembang di Indonesia. Bagaimana memulainya? Jika ingin kukuh, harus menjadikan tradisi (bukan tradiseonalisme), sebagai basis espistemologi sosial. Wallohu a’lam bis-showwab.
Mustafied, mantan ketua PMII Sleman-DIJ.



Selengkapnya...

KONTEKSTUALISASI ASWAJA

Setiap pelatihan, kaderisasi, atau forum-forum ilmiah di NU dan organisasi underbow-nya tidak lepas dari yang namanya Ahlus-sunnah wal-jamaah. Seringkali disingkat dengan Aswaja. Menjadi materi wajib. Bahkan ke-NU-an seseorang diukur juga dengan pemahaman dan praktek ubudiyyah dengan aswaja. Hanya saja saying. Sebagian besar warga NU memahami aswaja secara dangkal. Akibatnya, aswaja mengalami konservatifme. Menjadi wacana agama yang banyak diulang-ulang, menjadi retorika (al-qiroah al-mukarriroh). Namun hampir tidak terkait dengan realitas social yang sebenarnya yang terjadi di masyarakat. Wacana aswaja tidak menjadi landasan kesadaran dalam bertindak, berpolitik, berorganisasi, kecuali dalam wilayah yang amat sempit dan personal: ibadah.
Kedangkalan tersebut dapat dilihat ketika memahami Aswaja sebatas pemahaman mazhabi. Aswaja dipahami sebagai mazhab fiqh yang mengacu ke empat imam, mazhab kalam yang mengacu ke Al-Asy'ari dan Al-Maturidi, serta , Mazhab Tashawwuf yang mengacu ke Imam Ghozali dan Imam Baghdadi. Bahkan banyak yang lebih parah lagi, mengidentikan ahlus-sunnah dengan qunut, tarawih, khaul, dan lainnya.
Pemahaman di atas, bagi masyarakat awam, yang tidak mendapatkan akses pendidikan keagamaan memadahi, dapat dipahami. Namun menjadi masalah jika pemahaman yang sama juga menjadi mainstream bagi aktifis organisasi seperti muslimat. Maka, dibutuhkan upaya kontekstualisasi Aswaja dalam kerangka organisasi social keagamaan seperti muslimat. Sehingga pemahaman Aswaja lebih maju dan benar-benar menjadi landasan kesadaran berorganisasi. Untuk kearah tersebut dibutuhkan penelusuran sejenak sehingga dipahami posisi Aswaja yang sesungguhnya, untuk kemudian ditafsir ulang agar kontesktual.

Memahami Konteks Sejarah Aswaja
Aswaja terkait dengan kehidupan social politik. Kelahirannya di tengah-tengah pergulatan politik pasca-wafatnya Nabi saw. Sebagaimana diketahui, pasca-wafatnya Rasululloh saw, sempat muncul pertemuan Tsaqifah Bani Sa'diyyah, dari golongan Anshor yang melontarkan penyataan "minna amir waminkum amir." Kemelut politik ini selesai dengan terpilihnya sahabat Abu Bakar dengan landasan teologis Al-aimmath min-quroisyin."
Sepeninggal Abu Bakar r.a ( 13 H), kepemimpinan dipegang oleh sahabat Umar r.a. karena washiyyath Abu Bakar r.a yang menunjuknya sebagai waliyyul 'ahd. Sahabat Umar r.a memimpin khilafah selama 10 tahun dengan prestasi gemilang. Terkenal tegas, adil, pemberani, juga inovatif, termasuk dalam ijtihad. Beliau wafat tahun 23 H karena tusukan pedang Abu Lu'lu Al-Majusy dari Persia ketika jamaah sholat subuh. Sebelum wafat, sahabat Umar sempat berwashiyath menunjuk enam formatur untuk memilih penggantinya. Salah satu keteladan politiknya adalah, beliau membolehkan putranya Abdullah Ibn Umar menjadi anggota ahlul-halli wal-aqdi (memiliki hak suara), namun tidak diperbolehkan untuk dipilih, meskipun kapasitasnya memadahi. Muncul dua kandidat kuat: Ali Bin Abi Thalib k.a dan Utsman bin Affan ra. Akhirnya terpilih sahabat Utsman r.a. Di era ini mulai muncul gejolak politik seperti di Mesir, Kufah, dan Bashrah. Gejolak ini memuncak dengan wafatnya sahabat Utsman dalam pertikaian politik tersebut.
Setelah wafatnya sahabat Utsman r.a, sahabat Thalhah, Zubari, Sa'ad bin Abi waqqos, dan Ibn Umar mengangkat dan membaiat sahabat Ali bin ABi Thalib sebagai khalifah. Gejolak politik dimulai dengan tidak mau tunduknya (tidak ikut berbaiat) Mu'awiyyah bin Abi Sufyan yang memerintah Syiria. Gejolak berikutnya terjadi dalam perang Jamal yang melibatkan sahabat Thalhah, Zubair, dan Siti Aisyah r.a. Kemudian perang shiffien yang hampir dimenangkan pasukan Ali k.a. sebelum dihentikan oleh taktik Amr bin Ash dengan mengangkat Al Qur'an sebagai tanda perdamaian.
Peristiwa inilah yang mengawali gejolak politik dunia Islam yang melahirkan sekte-sekte (firoq) dalam Islam. Mereka yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) menjadi kelompok khowarij, mereka yang membela dengan penuh semangat kebijakan khalifah berkembang menjadi Syiah. Mu'awiyyah yang memenangkan perundingan politik, kemudian menjadi khalifah, mengembangkan doktrin politik jabbariyah sebagai legitimasi teologisnya.

Selengkapnya...

“Masifitas Kesadaran Mahasiswa Menuju Reformasi Pendidikan”

.

Oleh:Nur Kholis

Dalam pembangunan bangsa yang menjadi pelopor utama atau aspek terpentig adalah pendidikan. Sebuah masa depan bangsa, karakter masyarakat dalam sebuah Negara ini tergantung kemana pendidikan aka mengarahkanny, kalao pendidikan aka megarahkan masyarak ke arah yang lebih baik, dengan intelektual dan moral yang baik, maka sebuah Negara pun akan terbentuk dengan baik dan karakter kebangsaan juga menjadi bangsa yang berkepribadian, terampil, dan merdeka dari bentuk jajahan. Sebaliknya, pendidikan yang lebih mengarahkan pada keterampilan kerja peserta didik tanpa memepertimbangkkan aspek moral maka dari pendidikanlah akan melahirkan robot-robot peradaban, gampang ditelikung dan disetir oleh penguasa dan pengusaha. Dambaan akan kemerdekaan hanyalah sebatas khayalan basi.
Cukup banyak bukti untuk mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya dijadikan sebagai proses humanisasi dan alat transformasi sosial dan pengetahuan, namun pendidikan di Indonesia ini cenderung malah di jadikan sebagai ajang bisnis bagi para kaum pebisnis dan lembaga pendidikan hanya di jadikan pabrik-pabrik tenaga kerja yang terkadang juga masih di pertanyakan kualitasnya. Seperti yang dikatakan sahabat Paulo Fraire, penindasan baru banyak yang dilegitimasi oleh sistem pendidikan. Karena pendidikan kita masih belum bisa melahirkan manusia merdeka yang terampil, kritis, humanis dan bermoral. Sejauh ini pendidikan sebagaimana pernyataan Nurani Soyomukti (2008) hanya melahirkan manusia terampil tapi tidak bermoral dan tidak mempunyai kemerdekaan berfikir sehingga mereka hanya menjadi pesuruh dan pekerja dari kaum kapitalis yang licik.
Hilangnya paradigma pendidikan sebagai proses transformasi sosial tidak lain disebabkan oleh sistem kapitalisme yang membuntuti. Benar apa yang dikatakan oleh Paulo Fraire bahwa pendidikan tidak bebas nilai, melainkan pendidikan menjadi arena pertarungan dari beberapa ideologi. Di negeri ini yang lebih dominan menyusupi adalah ideologi kapitalis. Pendidikan yang dominan spirit kapitalismenya lebih mengarah pada proses pembentukan manusia profesional an sich untuk menjadi pekerja dari para kaum kapitalis.
Mansur Faqih (2001) pernah mengatakan bahwa pendidikan tanpa disadari telah mengalami transisi dari model pendidikan yang sama sekali tidak menghiraukan masyarakat sebelumnya, menuju model pembangunan, di mana pendidikan harus diabdikan untuk memperkuat pembangunan, tanpa mempersoalkan apa ideologi yang menjadi dasar dari pembangunan itu sendiri. Karena di negeri ini model pembangunannya banyak digerakkan oleh sistem kapitalisme, pendidikannya diarahkan bagaimana dapat melengggangkan tersebarnya ideologi kapitalis. Singkatnya, bagaimana pendidikan itu sendiri harus mempunyai relevansi dengan dunia industri.
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 tentang penanaman modal Asing dalam bidang Pendidikan adalah satu indikasi terjadinya liberalisasi, swastanisasi dan privatisasi pendidikan. Adanya rasa pesimisme dari publik akan rancangan Undang-undang tersebut menjadi keprihatinan bersama. Karena bagaimana pun, apabila penanaman modal di bidang pendidikan dibuka lebar-lebar alias diobral, jati diri pendidikan akan mudah terombang-ambing. Dalam konteks inilah kapitalisme pendidikan kian mendapat restu dari pemerintah.
Perselingkuhan antara pendidikan dengan spirit kapitalisme akan mereduksi dan bahkan melumpuhkan fungsi pendidikan sebagai proses humanisasi dan alat transformasi sosial. Kita telah menaruh harapan banyak munculnya orang-orang kritis, terampil, dan bermoral dari lembaga pendidikan, tapi nyatanya yang lahir adalah manusia-manusia profesional dan terampil yang kecerdasan emosional dan kepekaan hatinya tidak terasah. Manusia yang lahir dari rahim pendidikan tak ubahnya hanya sebagai pekerja, budak, dan pelanggeng dari perusahaan para kaum kapitalis.
Pendidikan kita yang selama ini telah norak timpang tidak lepas dari upaya pemerintah yang ingin mengkomersilkan pendidikan. Pemerintah ingin lepas tangan dari tanggung jawabnya untuk mencerdaskan anak bangsa. Pemerintah mulai membuka ruang lebar-lebar untuk menjual pendidikan kita terhadap korporasi-korporasi internasional.
Dengan sederetan kenyataan yang terjadi di dunia pendidikan di Negara kita semakin mengindikasikan bahwa tujuan utama pendidikan tak lagi humanisasi atau memanusiakan manusia, namun tujuan pendidikan ini merauk keuntungan yang sebesar-besarnya. Dan yang lebih parahnya dengan adanya kenyataan itu, mahasiswa hanya bias pasrah dengan kenyataan, tanpa mau mengelak sedikitpun dan lebih asyik cuek bebek dengan keadaan yang mengancam masadepan bangsa tersebut. Mahasiswa ini yang seharusnya menjadi penggerak utama perbahan masa depan bangsa terutama dalam aspek pendidikanya, mulai aktif dan mengkritisi kenyataan yang ada yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi, turut berfikir dan menjalankan kabijakan yang akan diterapkan, karena mahasiswa adalah barisan utama untuk membentu perubahan masa depan bangsa.
Dengan demikian, menjadi sangat penting bagi kita semua untuk kembali menyadarkan diri kita dan bersama-sama meruntuhkan tatanan pendidikan di Negara kita yang sudah teracuni virus-virus kapitalisme dan sekawanannya dan mengebalikan tujuan pendidikan ke tujuan utamanya yaitu memanusiakan manusia. Dengan cara membongkar lebih jauh problematika pendidikan nasional, terutama dalam proses kapitalisasi, liberalisasi, dan privatisasi pendidikan. Pembongkaran ini tidak lain adalah sebagai langkah untuk menata ulang format pendidikan yang berbasiskan keindonesiaan. Dengan menelaah secara kritis terhadap problematika pendidikan, maka diharapkan nantinya menghasilkan satu bangunan konseptual untuk menyongsong arah pendidikan secara lebih massif, kondusif dan kritis.

“MOHON DO’A RESTU DAN DUKUNGANNYA”

CALON BEM-J PAI FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
2011

Selengkapnya...

POSKO PEDULI MERAPI “LINGKAR TRADISI”

DATA RELAWAN POSKO PEDULI MERAPI “LINGKAR TRADISI”
KKN Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

No Nama NIM Jurusan Semester
1.Feri Cahyono 08410191 PAI V
2.Anifatul Musyarofah 08410036 PAI V
3.Munifah Ahmad 08410013 PAI V
4.Much Rikhan Fu’adi 08410042 PAI V
5.Moch Reza P 08410103 PAI V
6.Syarif Kharomain A. 07420042 PBA VII
7.Siti Khoiru Ni’mah 08420058 PBA V
8.Yuyun Himatul Maulani 08420088 PBA V
9.Mansata Indah Dwi U. 08420103 PBA V
10.Ah. Taufiq ma’mun 08420040 PBA V
11.Nur Kholis 08410027 PAI V
12.Faza Fikri Tamami 08420084 PBA V
13.Dwi Rangga Visca D 08410190 PAI V
14.Fery Ade Saputra 08410108 PAI V
15.Fauzi Akhmat 08410022 PAI V
16.Khoirul Mustangin 08410098 PAI V
17.M. Kharir 08410116 PAI V
18.Sauqi Futaqi 08410140 PAI V
19.M. Hijrah Tanjung 08410075 PAI V
20.Hendri Apriyanto 08410046 PAI V
21.Syamsuddin 08410047 PAI V
22.Wulan Yuliana 08410177 PAI V
23.Edi Hermawan 08410074 PAI V
24.Roby Ahmadi 08410048 PAI V
25.M. nururrohman 08410088 PAI V
26.Rifqi Auliawati 08480022 PGMI V
27.Rizka Ayu Fadhilla 08420083 PBA V
28.Arya Sukma Jaya 08470107 KI V
29.Siti Zuraida Aziroh 08470042 KI V
30.Anisa Suni P. 08410151 PAI V
31.Mahfudin 08420053 PBA V

Yogyakarta, 10 November 2010
Posko Peduli Merapi
Lingkar Tradisi

Koordinator Pusat Sekretaris Umum




Feri Cahyono Iswanan Fahmi

Selengkapnya...

PENDIDIKAN DAN AL-GHAZALI

A. Sekilas Tentang Al-Ghazali
Banyak dari kita mengenal al-Ghazali hanya sebagai seorang teolog, Faqih dan sufi, padahal ada sisi lain dari al-Ghazali yang kurang ter-cover dalam perhatian para sarjana belakangan yaitu pemikirannya tentang pendidikan. Padahal pemikirannya tentang hal tersebut banyak berpengaruh terhadap para ulama’ sunni sesudahnya. Lalu apa saja pemikiran al-Ghazali dimaksud. Untuk menjawab hal ini ada beberapa hal yang penulis rujuk, rujukan utama dan pertama adalah karya besarnya Ihya’ Ulumiddin juz I, kedua, terjemahan karyanya yang berjudul Ayyuha Al-Walad, yang ketiga adalah pendapat-pendapat para cendekiawan yang juga penulis jadikan sebagai bahan pertimbangan.
Berikut adalam item ‘b’ dalah ringkasan isi dari Ihya’ Ulumiddin Bab I yang dianggap mewakili bab yang berisi wacana pendidikan dalam kitab Ihya’. Akan tetapi yang perlu disadari oleh pembaca bukan berarti selain di bab I Ihya’, dalam bab-bab lain al- ghazali tidak menyinggung tentang pendidikan. Jadi sebenarnya lebih pada pilihan penulis karena keterbatasan waktu dan kemampuan yang ada.
B. Ilmu pengetahuan
Pandangan al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pandangannya akan keutamaan ilmu & keutamaan orang yang memilikinya, pembagian ilmu, etika belajar dan mengajar.
Baiklah kita mulai dari hal yang pertama, al-Ghazali memulai pandangannya dengan nada provokatif tentang keutamaan mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan mengutip al-qur’an surat al-mujadilah ayat 11 yang mempunyai arti: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberepa derajat. Provokasi ini kemudian dilanjutkannya dengan hadis Nabi bernada majaz metaforik yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tentang keutamaan ilmuwan atas orang awam, pernyataan tersebut adalah “lil ulama’I darajat fauqa al-mu’minina bisab’imi’ati darajat ma baina al-darajataini masiratu khamsami’ati ‘am.” yang artinya para orang-orang yang berilmu memiliki derajat diatas orang-orang mukmin sebanyak tujuh ratus derajat, jarak di antara dua derajat tersebut perjalanan lima ratus tahun. Di halaman pertama ihya’ pada bab I saja setidaknya terdapat 14 ayat yang dikutib al-Ghazali yang dijadikan pen-support akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang memilikinya. Dan melengkapinya dengan mengutip 27 hadis yang mendukung. Sedangkan dalam keutamaan belajar beliau memulai dengan dengan surat taubat ayat 122 kemudian melanjutkannya dengan surat al-nahl ayat 43 dan al-anbiya’ ayat 7 yang berbunyi “fas’alu ahla al-dikri in kuntum la ta’lamun.” dan setelah itu setidaknya beliau menyebutkan 9 hadis yang juga bernada majaz metaforis.
Yang menarik disamping beliau menyandarkan pendapat-pendapatnya pada dua asas islam di atas, beliau memakai pula sandaran secara logika (aqli). Hal ini rupanya tak luput dari background-nya sebagai guru besar Universitas Nidhamiyah yang mengikuti madhab Syafi’iyah dan madhab kalam al-Asy’ari yang memang sering memadukan dalil naqli dan ’aqli. Ebrikut adalah ikhtisar pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan.
1. Kategorisasi pengetahuan
Setelah memprovokasi umat islam untuk mencari ilmu, al-Ghazali melanjutkannya dengan kategorisasi ilmu pengetahun. Dalam kategorisasi ilmu, al-Ghazali membaginya pada ilmu yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud) dan ilmu yang tidak pantas untuk dipelajari (al-madmum), kemudian beliau juga membagi ilmu yang pantas dipelajari menjadi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari.
Akan tetapi sebelum membahas hal itu, al-Ghazali memulainya dengan mengatakan tidak adanya diskriminasi dalam mencari ilmu dengan mengutip hadis Nabi yang berbunyi” t{alabu al-‘ilmi faridah ‘ala kulli muslim” setelah itu baru menjelaskan pada apa yang ia maksud dengan ilmu yang fadlu ‘ain, yaitu ilmu yang meliputi ilmu teologi seperlunya hingga ia yakin tentang Allah, kemudian ilmu syari’at hingga ia paham akan apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan . selebihnya menurutnya adalah fardlu kifayah.
Sedangkan ilmu yang tidak pantas dipelajari bagi al-Ghazali adalah ilmu yang dapat menyesatkan kita seperti ilmu sihir dan ilmu nujum (ramalan), dan filsafat. Tapi beliau masih memberi toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan. Seperti imu njum untuk mengetahui letak kiblat, filsafat hanya dalam dasar untuk keperluan kedokteran dan matematika.
2. Etika Belajar
Sedangkan dalam etika belajar, al-Ghazali menjelaskan ada 10 hal yang harus dilakukan oleh seorang pelajar yaitu:
Pertama, membersihkan jiwa dari kejelekan akhlak, dan keburukan sifat karena ilmu itu adalah ibadahnya hati, shalat secara samar dan kedekatan batin dengan Allah.
Kedua, menyedikitkan hubungannya dengan sanak keluarga dari hal keduniawian dan menjauhi keluarga serta kampung halamannya. Hal ini menurut al-Ghazali agar seorang pelajar bisa konsentrasi dalam apa yang menjadi fokusnya.
Ketiga, tidak sombong terhadap ilmu dan pula menjauhi tindakan tidak terpuji terhadap guru. Bahkan menurut al-Ghaza>li> seorang pelajar haruslah menyearhkan segala urusannya pada sang guru seperti layaknya seorang pasien yang menyerahkan segala urusannya pada dokter.
Keempat, menjaga diri dari mendengarkan perselisihan yang terjadi diantara manusia, karena hal itu dapat menyebabkan kebingungan, dan kebingungan pada tahap selanjutnya dapat menyebabkan pada kemalasan.
Kelima, tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga selesai dan mengetahui hakikatnya. Karena keberuntungan melakukan sesuatu itu adalah menyelami (tabahhur) dalam sesuatu yang dikerjakannya.
Keenam, janganlah mengkhususkan pada satu macam ilmu kecuali untuk tertib belajar.
Ketujuh, janga terburu-buru atau tergesa-gesa kecuali kita telah menguasai ilmu yang telah dipelajari sebelumnya. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah sistematik, satu bagian saling terkait dengan bagian yang lainnya.
Kedelapan, harus mengetahui sebab-sebab lebih mulianya suatu disiplin ilmu dari pada yang lainnya. Seorang murid terlebih dahulu harus mengkomparasikan akan pilihan prioritas ilmu yang akan dipelajari.
Kesembilan, pelurusan tujuan pendidikan hanya karena Allah dan bukan karena harta dan lain sebagainya.
Kesepuluh,harus mengetahui mana dari suatu disiplin ilmu yang lebih penting (yu’atsar al-rafi’ al-qarib ‘ala al-ba’id)
3. Etika Mengajar
Pertama, memperlakukan para murid dengan kasih saying seperti anaknya sendiri.
Kedua, mengikuti teladan Rasul, tidak mengharap upah, balasan ataupun ucapan terima kasih (ikhlas).
Ketiga, jangan lupa menasehati murid tentang hal-hal yang baik.
Keempat, jangan lupa menasehati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara terang-terangan tapi hendaknya gunakan sindiran. Jangan lupa untuk mengerjakannya terlebih dahulu karena pendidikan dengan sikap dan perbuatan jauh lebih efektif daripada perkataan
Kelima, jangan menghina disiplin ilmu lain.
Keenam, terangkanlah dengan kadar kemampuan akal murid. (Hal inilah yang dibut dalam balaghah sebagai kefashihan).
Ketujuh, hendaknya seorang guru harus mengajar muridnya yang pemula dengan pelajaran yang simpel dan mudah dipahami, karena jika pelajarannya terlalu muluk-muluk maka hal tersebut akan membuat murid merasa minder dan tidak percaya diri.
Kedelapan, seorang guru harus menjadi orang yang mengamalkan ilmunya.
C. Berbincang Tentang Pendidikan dalam kacamata al-Ghaza>li>
Ditilik dari Ihya’ bab I, al-Ghaza>li> adalah penganut kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia islam maka hukumnya wajib. Tidak terkecuali siapapun. Pula ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih) dan pendidikan bisa mewarnainya dengan hal-hal yang benar. Jadi kurang arif jika ada anggapan bahwa umat islam terbelakang gara-gara al-Ghaza>li>.
Dalam Ihya’ Ulumiddin, al-Ghaza>li> telah memakai kategorisasi ilmu akhrirat atau ilmu agama. Lagi disana, al-Ghaza>li> masih memakai kata fiqh sebagai pemahaman, faqih sebagai orang yang paham atau berilmu. Hal ini terlihat pada hadis yang dinukilnya,” man yurid Allahu bihi> khairanyufaqqihhu fi al-di>n”. Kata Alim dan Ulama’ juga masih diartikan sebagai cendekiawan atau orang yang berilmu. Hal ini bisa terlihat dari hadis yang dikutip oleh al-Ghaza>li>” yashfa’u yauma al-qiya>mati tsalatsatun; al-anbiya>’ tsumma al-ulama>’ tsumma al-shuhada>’”. Dan pula “fadlu al-mu’min al-‘alim ‘ala al-mu’min al-‘a>bid bisab’ina darajatan”. Sepertinya hingga masa al-Ghaza>li> kata Faqih dan Ulama’ belum secara khusus merujuk pada disiplin ilmu fiqh dan Ulama’ sebagai ahli ilmu agama. Walaupun hal-hal yang mengarah ke arah itu sudah ada.
Pembahasan al-Ghaza>li> tentang pendidikan meliputi tujuan pendidikan, metode belajar, metode mengajar, karakteristik dan kategorisasi keilmuan.
Tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghaza>li> adalah mencapai mardlatillah (Ridha Allah) dan haruslah dihindari dari tujuan-tujuan duniawi. Karena tujuan duniawi dapat merusak seluruh proses pendidikan. Dan dapat mendangkalkan arti pendidikan itu sendiri.
Dalam kategorisasi ilmu yang dilakukan, ilmu-ilmu agama menduduki peringkat pertama dan utama dalam pemikiran al-Ghaza>li>. Sehingga menurut al-Ghaza>li> selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’ . jadi dalam kategorisasi ilmu agamapun al-Ghaza>li> masih membaginya pada apa yang ia sebut demi kepentingan tertib belajar. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam kacamata al-Ghaza>li> karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, Sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia.
Disamping itu ia juga menjelaskan bagaimanakah seorang pelajar harus bersikap terhadap ilmu dan gurunya. Ia mengemukan metode belajar dan metode mengajar.Dan menurut penulis apa yang telah dikemukakan al-Ghaza>li> adalah lebih moderat ketimbang apa yang kemudian diterjemahkan ulang yang banyak penambahan sana sini oleh pengagumnya yang bernama al-Zarnuji yang lebih beroriantasi pada etika murid pada dunia tasawuf dan tarekat.
Penjelasan al-Ghaza>li> mencakup pula pada bagaimana seorang guru harus bersikap dan memperlakukan murid dalam pengajaran yang dilakukan, bahkan ia juga menyinggung metode pengajaran keteladanan dan kognitifistik. Selain itu ia juga memakai pendekatan behavioristik sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini tampak dalam pandangannya yang menyatakan jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang Guru mengapresiasi Murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan. Untuk bentuk pengapresiasian gaya al-Ghaza>li> tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward and panisment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawa>b (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping pendekatan behavioristik diatas, al-Ghaza>li> juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistic dan mengahrgai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghaza>li> tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu al-Ghaza>li> menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru.
Dalam pandangan al-Ghaza>li>, pendidikan tidak semata-mata suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah prose situ masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan.
Tapi hal yang paling Nampak dalam kacamata al-Ghaza>li> tentang pendidikan adalah bagaimana ia membangun karakter pendidikan, ia sangat konsisten dalam masalah etika pendidikan. Pembahasan masalah ahklak atau etika tidak saja tampak dalam Ihya’ Ulmuddin tapi juga di Ayyuha al-Walad , Mizan al-‘Amal dan Bidayah al-hidayah. Dalam kitab yang terkhir ini persinggungan alGhazali dengan tasawuf sangat kental sekali. Yang menarik dalam semua kitab ini al-Ghaza>li> menggunakan gaya narasi untuk mengungkapkan pemikirannya. Bahkan semenjak tahfut al-falasifah, ia tak segan menggunakan kata pengganti pertama berupa Aku atau Kita. malah dalam Ayyuha al-Walad, al-Ghaza>li> menggunakan kata penggati engkau untuk menyapa pembacanya. Gaya penyusunan seperti ini kemudian banyak diadopsi oleh para pendidik sesudahnya termasuk oleh Umar Baradja dalam kitab Akhlaq lil Banin dan Ahklaq lil Bana>t. Mungkin inilah metode yang benar menurut al-Ghaza>li> tentang belajar dan mengajar (pendidikan).
D. Penutup
Saya tidak tahu bagaimana menutup diskusi kita kali ini karena bagi saya pribadi, pembacaan atas al-Ghaza>li> adalah pembacaan yang belum tuntas. Tentu sangat riskan jika saya membuat kesimpulan tentang isi pikiran al-Ghaza>li> tentang pendidikan.
Yang mungkin saya lakukan adalah kesimpulan tentang apa yang saya paparkan dalam item sebelumnya, yaitu bahwa setidaknya pandangan al-Ghazali tentang pendidikan mencakup pada tujuan pendidikan; yaitu keridlaan Allah, metode pendidikan; dalam hal ini al-Ghazali bukanlah seorang pemikir pendidikan yang ekstrim terhadap satu metode dan menolak metode yang lain, ia banyak menggabungkan metode-metode yang ada untuk memperoleh hasil yang optimal, kategorisasi keilmuam; hal ini juga menjadi perhatian al-Ghazali dan dijelaskan secara panjang lebar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam, ihya’ ulumiddi>n. Da>r al-kita>b al-‘ilmiyah. Beirut-lebanon tanpa tahun.
Al-Ghaza>li,> Imam, Ayyuha al-Walad. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1986
Nakosten, Mehdi. Konstribusi Islam Atas Dunia Barat. Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Zamjani, Irsyad. Wacana Pendidikan Ghazali. Surabaya, Jurnal Studi Agama dan DEmokrasi erbang Vol-12,2002
Yaitu setelah ia berguru secara massif pada al-Juwainisejak usia 23 tahun sekaligus menjadi asistennya dalam mengajar di Nidzamiyah- Bagdad, al-Ghaza>li> sudah mulai menulis kitab dan mulai mendapatkan tempat di Nidzamiyah. saat Juwaini wafat pada 478 H/1085 M, al-Ghaza>li> yang baru berumur 28 tahun diangkat menjadi Guru Besar di Nidzamiyah.
Dalam cetakan ihya’ ulumiddi>n yang diterbitkan oleh da>r al-kita>b al-‘ilmiyah Beirut-lebanon tanpa tahun.
Irsyad zamjani Wacana Pendidikan Ghazali(Surabaya, Jurnal Studi Agama dan DEmokrasi erbang Vol-12,2002) 215-216
Lih. Al-Ghaza>li>, Ayyuha al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1986) bandingkan dengan terjemahannya yang dimuat oleh Mehdi Nakosten, Konstribusi Islam Atas Dunia Barat(Surabaya: Risalah Gusti, 1996)126-130
GURU
Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”.(Ramayulis,1982:42) Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi. (Ramayulis, 1998:36)
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik, Imam Al-Ghazali menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Tulisan berikut ini merupakan kutipan yang diambil oleh penulis dari buku Abuddin Nata (2000:95-99) ketika menjelaskan kriteria guru yang baik dari kitab Ihyaa Ulumuddin yang merupakan karya monumental Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Sengaja kutipan di bawah ini diberi sedikit komentar untuk lebih memperjelas maksud yang hendak disampaikan.
Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut :
Pertama, Jika praktek mengajar merupakan keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat bertaqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus diberi dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT,. Dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniaan. Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid yang memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran yang baik.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir, adalah guru yang tidak baik. (Al-Ghazali, t.th:50)
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya. (Al-Ghazali, t.th:51)
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabiat dan kejiawaannya muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebaliknya jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan usia, kejiwaan dan kemampuan intelektual siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.

Selengkapnya...

PEMIKIRAN PAULO FRAIRE

Sudah lama dunia pendidikan formal (sekolah) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi siswa didik dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan jatidiri. Sekolah tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para murid. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Imbasnya, mereka menjadi sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif dan mandiri. Mereka belum terbebas sepenuhnya dari suasana keterpasungan dan penindasan.
Yang lebih mencemaskan, dunia persekolahan kita dinilai hanya menjadi milik anak-anak orang kaya. Usai menuntut ilmu, mereka menjadi penindas-penindas baru sebagai efek domino dari proses dan sistem yang selama ini mereka dapatkan di sekolah. Sungguh sangat beralasan jika banyak pengamat pendidikan yang menilai bahwa dunia persekolahan kita selama ini hanya melahirkan kaum penindas. Sementara itu, anak-anak dari kalangan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki akses terhadap dunia pendidikan hanya akan menjadi kacung dan kaum tertindas.
Situasi keterpasungan dan ketertindasan yang berlangsung dalam dunia pendidikan kita, disadari atau tidak, telah menimbulkan resistensi dari para penggiat sosial. Mereka banyak merintis berdirinya pendidikan alternatif yang berupaya membebaskan peserta didik dari situasi keterpasungan dan penindasan. Kalau dalam dunia persekolahan kita identik dengan penyeragaman dan indoktrinasi, pendidikan alternatif mencoba memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan pelajaran yang disukai atau memilih jenis aktivitas yang sesuai dengan minat dan hobi mereka masing-masing, bebas upacara, bahkan bebas ujian. Tempat belajar pun tak selalu berada di sebuah gedung yang mentereng atau laboratorium ber-AC, tetapi bisa berlangsung di bawah jembatan, tepian rel kereta api, atau di gubug-gubug kardus.
Bisa jadi, maraknya pendidikan alternatif semacam itu terilhami oleh ide-ide cemerlang dari Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brasil. Ia dikenal sebagai seorang tokoh yang sangat kontroversial lantaran keberaniannya menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Sistem pendidikan yang ada dianggap sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin, tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena hanya menguntungkan penguasa, menurut Freire, pendidikan yang hanya melahirkan kaum penindas semacam itu harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.
Sekilas tentang Paulo Freire.
Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi.
Sambil kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959, lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran siswa didik menimbulkan kekhawatiran di kalangan penguasa. Oleh karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964, kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970.
Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan alternatif lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi terhadap filsafat pendidikan yang berporos pada pemahaman tentang manusia. Masyarakat feodal (hirarkis) merupakan struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, sehingga menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya, putaran waktu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan, sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari sepenuhnya. Dalam kebudayaan bisu semacam itu, kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas.Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka.
Untuk menguasai realitas hidup, termasuk menyadari kebisuan itu, bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang membuat siswa didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk membuat mereka mampu mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar, termasuk suara sang pendidik.
Dalam kondisi semacam itu, Freire terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Disebut pendidikan gaya bank, sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada siswa didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan, yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Siswa didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya siswa didik itu sendiri yang “disimpan” karena miskinnya daya cipta. Pendidikan gaya bank dinilai hanya menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Untuk menghapuskan pendidikan gaya bank, Freire menawarkan pendidikan alternatif melalui sistem pendidikan hadap-masalah. Dalam proses pendidikan semacam ini, kontradiksi guru-murid (guru menjadi sumber segala pengetahuan, sedangkan murid menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Siswa didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai objek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya, guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan siswa didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, siswa didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan pun tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket, tetapi sejumlah permasalahan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh siswa didik dalam konteksnya sehari-hari.
Quovadis Dunia Pendidikan Kita?
Lantas, adakah relevansi antara pendidikan alternatif ala Freire dan dunia pendidikan (formal) kita? Dari setting sosial dan kultural, struktur masyarakat kita memang berbeda dengan kondisi masyarakat Brasil. Namun, berdasarkan struktur hierarkis masyarakat kita yang cenderung bergaya feodal, agaknya pendidikan alternatif ala Freire bisa dijadikan sebagai bahan analogi dan refleksi terhadap dunia pendidikan kita yang dinilai belum mampu membebaskan siswa didik dari keterpasungan dan ketertindasan.
Konon, pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80% kekayaan Indonesia, padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru, baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesama kaum “tertindas”. Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari ketertindasannya.
Kritikan Freire agaknya masih cukup relevan jika kita kaitkan dengan fenomena korupsi yang dinilai sudah menjadi budaya yang mengakar dalam masyarakat kita. Korupsi dengan berbagai bentuknya merupakan manifestasi dari imbas proses pendidikan kita yang dianggap belum sanggup membebaskan dan mencerahkan siswa didik dari perilaku yang kerdil dan cacat moral. Mereka ingin menjadi neo-borjuis, neo-feodal, atau penindas-penindas baru secara instan melalui praktik korupsi sebagai upaya untuk mengembalikan modal sebagai dampak mahalnya biaya pendidikan. Quovadis dunia pendidikan (formal) kita kalau hanya melahirkan borjuis dan penindas-penindas baru?
Jangan salahkan pendidikan alternatif kalau dunia pendidikan (formal) kita gagal menyediakan tempat yang nyaman bagi masyarakat miskin untuk menimba ilmu. Jangan ratapi pula maraknya koruptor yang masih terus bebas melenggang mengemplang harta negara kalau tak ada perubahan mendasar dalam desain dan sistem pendidikan kita. Juga, jangan tangisi puluhan sarjana gadungan yang harus menggadaikan harkat dan martabat kemanusiaannya dengan membeli ijazah palsu kalau struktur masyarakat kita masih memberhalakan feodalisme dan borjuisme! ***

Judul Artikel : Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan
Topik : Pendidikan Dunia Ketiga
Pendidikan di Indonesia nampaknya sudah tidak berhasil ditinjau dari aspek pedagogis. Dunia pendidikan sekarang dinilai kering dari aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis sehingga seorang anak sekolah cenderung kerdil karena tidak mempunyai dunianya sendiri . Untuk itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam menjalankan proses belajar mengajar. Baru, dalam pengertian berbeda dari yang selama ini melembaga dalam duni pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan yang dinilai tepat dijalankan di dunia ketiga adalah konsep pendidikan Paulo Freire yang menganggap bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan .
Mengapa Paulo Freire
Paulo Freire dilahirkan 1921 di Recife, salah satu daerah paling miskin dan terbelakang di timur laut Brazil lewat karya pendidikannya dapat kita sebut sebagai bahwa pikirannya mewakili jawaban dari sebuah pikiran kreatif dan hati nurani yang peka akan kesengsaraan dan penderitaan luar biasa kaum tertindas di sekitarnya . Kondisi ketertindasannya di Recife tersebut cukup menggambarkan pola keumuman praktek pendidikan di dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Disanalah tumbuhnya kebudayaan bisu dikalangan orang-orang yang tertindas. Lebih jauh Paulo Freire mengungkapkan bahwa proses pendidikan -dalam hal ini hubungan guru-murid- di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai “celengan” dan guru sebagai “penabung”. Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan “gaya bank” tersebut.
1. Guru mengajar, murid diajar.
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bercerita, murid mendengarkan.
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
8. Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka. Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (konsientisasi). Menurutnya, konsientisasi merupakan proses kemanusiaan yang ekslusif.
Pendidikan Kita Anti Realitas
Potret buram pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya sangat fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya, pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak habis-habisnya.
Relitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin dan terbelakang tidak pula dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara untuk sekolah tinggi (baca pendidikan tinggi/perguruan tinggi), suatu ketika Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar, mengemukakan bahwa perkembangan perguruan tinggi negeri (PTN) akhir-akhir ini lebih mirip toko kelontong. PTN kini kian mengecil dan berkeping-keping dengan membuka sekaligus menawarkan aneka program studi jangka pendek dan program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu lebih berorientasi profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan ilmu.
Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai “korban penindasan”. Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal.


Metode Dialog : Hadap Masalah
Karena penyebab tidak berhasilnya pendidikan kita sebagai akibat dari penerapan metode pendidikan konvensional, anti dialog, proses penjinakan, pewarisan pengetahuan, dan tidak berumber pada satu realitas masyarakat, maka kini tiba saatnya kita untuk merefleksikannya. Mau tidak mau, pendidikan kini harus berangkat dari proses dialogis antar sesama subyek pendidikan. Dialog yang lahir sebagai buah dari pemikiran kritis sebagai refleksi atas realitas. Hanya dialoglah yang menuntut pemikiran kritis dan melahirkan komunikasi. Tanpa komunikasi tidak akan mungkin ada pendidikan sejati. Sebagai respon atas praktek pendidikan anti realitas, Freire mengharuskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada proses hadap masalah. Titik tolak penyusunan program pendidikan atau politik harus beranjak dari kekinian, eksistensial, dan konkrit yang mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat. Program tersebut diharapkan akan merangsang kesadaran rakyat dalam menghadapi tema-tema realitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan tujuan pembebasan dari pendidikan dialogis. Pendidikan yang membebaskan, menurut Freire, agar manusia merasa sebagai tuan bagi pemikirannya sendiri.
Secara umum praktek pendidikan sebagai mana yang lazim disebut sebagai metode-nilai pedagogis dapat kita rangkum dalam dua kata tadi, dialog dan hadap masalah. Entahpun pengembangan lainnya tentu saja dapat kita lakukan seiring kondisi yang bersangkutan.
Pendidikan Indonesia Masa Depan
Ketika memimpikan tentang pendidikan masa depan kita tidak dapat melepaskan sejarah masa lalu dan realitas yang melingkupi sekarang. Sejarah mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pendidikan. Hal ini berarti, perkembangan pendidikan merupakan fungsi perkembangan sejarah masyarakat. Pramoedya Ananta Toer mengemukakan bahwa keengganan kita belajar dari sejarah telah mengakibatkan kita menuai kegagalan sebagai bangsa disaat ini.
Beberapa penyebab diantaranya telah kita simak pada bagian terdahulu. Maka, pendidikan untuk masa depan haruslah mengindikasikan agar dunia pendidikan kita dibebaskan dari suasana bisnis, agen perpanjangan kapitalisme gaya baru : kapitalisme pendidikan. Kurikulum pendidikan juga sudah saatnya berangkat dari sebuah realitas masyarakat, penataan kembali pendidikan agama, penanaman demokrasi dan menumbuhkan pemikiran kritis. Karena tujuan pendidikan juga bukan hanya kognitif semata, maka tinjauan apektif harus pula dijadikan bahan acuan dalam menjalankan proses pendidikan. Pendidikan harus berangkat dan memupuk keterampilan sosial (sosial skills) dan keterampilan hidup (life skills).
Potret pendidikan kita dimasa depan adalah tergantung dari sekarang. Rancangan Undang Undang Sitem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang sampai saat ini tetap menjadi polemik, mudah-mudahan dapat menjawab permasalahan pendidikan kita. Semoga, tidak ada lagi pertanyaan yang menggugat eksistensi lembaga pendidikan seperti yang ungkapkan Roem Topatimasang, “Jika sekarang banyak orang berwatak dan bersikap ‘setengah manusia, seperempat binatang, dan seperempat lagi setan’, merupakan hasil bentukan sekolah (baca : pendidikan, penulis) ? “

Selengkapnya...