Kamis, 17 Februari 2011

PENDIDIKAN DAN AL-GHAZALI

A. Sekilas Tentang Al-Ghazali
Banyak dari kita mengenal al-Ghazali hanya sebagai seorang teolog, Faqih dan sufi, padahal ada sisi lain dari al-Ghazali yang kurang ter-cover dalam perhatian para sarjana belakangan yaitu pemikirannya tentang pendidikan. Padahal pemikirannya tentang hal tersebut banyak berpengaruh terhadap para ulama’ sunni sesudahnya. Lalu apa saja pemikiran al-Ghazali dimaksud. Untuk menjawab hal ini ada beberapa hal yang penulis rujuk, rujukan utama dan pertama adalah karya besarnya Ihya’ Ulumiddin juz I, kedua, terjemahan karyanya yang berjudul Ayyuha Al-Walad, yang ketiga adalah pendapat-pendapat para cendekiawan yang juga penulis jadikan sebagai bahan pertimbangan.
Berikut adalam item ‘b’ dalah ringkasan isi dari Ihya’ Ulumiddin Bab I yang dianggap mewakili bab yang berisi wacana pendidikan dalam kitab Ihya’. Akan tetapi yang perlu disadari oleh pembaca bukan berarti selain di bab I Ihya’, dalam bab-bab lain al- ghazali tidak menyinggung tentang pendidikan. Jadi sebenarnya lebih pada pilihan penulis karena keterbatasan waktu dan kemampuan yang ada.
B. Ilmu pengetahuan
Pandangan al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pandangannya akan keutamaan ilmu & keutamaan orang yang memilikinya, pembagian ilmu, etika belajar dan mengajar.
Baiklah kita mulai dari hal yang pertama, al-Ghazali memulai pandangannya dengan nada provokatif tentang keutamaan mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan mengutip al-qur’an surat al-mujadilah ayat 11 yang mempunyai arti: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberepa derajat. Provokasi ini kemudian dilanjutkannya dengan hadis Nabi bernada majaz metaforik yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tentang keutamaan ilmuwan atas orang awam, pernyataan tersebut adalah “lil ulama’I darajat fauqa al-mu’minina bisab’imi’ati darajat ma baina al-darajataini masiratu khamsami’ati ‘am.” yang artinya para orang-orang yang berilmu memiliki derajat diatas orang-orang mukmin sebanyak tujuh ratus derajat, jarak di antara dua derajat tersebut perjalanan lima ratus tahun. Di halaman pertama ihya’ pada bab I saja setidaknya terdapat 14 ayat yang dikutib al-Ghazali yang dijadikan pen-support akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang memilikinya. Dan melengkapinya dengan mengutip 27 hadis yang mendukung. Sedangkan dalam keutamaan belajar beliau memulai dengan dengan surat taubat ayat 122 kemudian melanjutkannya dengan surat al-nahl ayat 43 dan al-anbiya’ ayat 7 yang berbunyi “fas’alu ahla al-dikri in kuntum la ta’lamun.” dan setelah itu setidaknya beliau menyebutkan 9 hadis yang juga bernada majaz metaforis.
Yang menarik disamping beliau menyandarkan pendapat-pendapatnya pada dua asas islam di atas, beliau memakai pula sandaran secara logika (aqli). Hal ini rupanya tak luput dari background-nya sebagai guru besar Universitas Nidhamiyah yang mengikuti madhab Syafi’iyah dan madhab kalam al-Asy’ari yang memang sering memadukan dalil naqli dan ’aqli. Ebrikut adalah ikhtisar pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan.
1. Kategorisasi pengetahuan
Setelah memprovokasi umat islam untuk mencari ilmu, al-Ghazali melanjutkannya dengan kategorisasi ilmu pengetahun. Dalam kategorisasi ilmu, al-Ghazali membaginya pada ilmu yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud) dan ilmu yang tidak pantas untuk dipelajari (al-madmum), kemudian beliau juga membagi ilmu yang pantas dipelajari menjadi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari.
Akan tetapi sebelum membahas hal itu, al-Ghazali memulainya dengan mengatakan tidak adanya diskriminasi dalam mencari ilmu dengan mengutip hadis Nabi yang berbunyi” t{alabu al-‘ilmi faridah ‘ala kulli muslim” setelah itu baru menjelaskan pada apa yang ia maksud dengan ilmu yang fadlu ‘ain, yaitu ilmu yang meliputi ilmu teologi seperlunya hingga ia yakin tentang Allah, kemudian ilmu syari’at hingga ia paham akan apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan . selebihnya menurutnya adalah fardlu kifayah.
Sedangkan ilmu yang tidak pantas dipelajari bagi al-Ghazali adalah ilmu yang dapat menyesatkan kita seperti ilmu sihir dan ilmu nujum (ramalan), dan filsafat. Tapi beliau masih memberi toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan. Seperti imu njum untuk mengetahui letak kiblat, filsafat hanya dalam dasar untuk keperluan kedokteran dan matematika.
2. Etika Belajar
Sedangkan dalam etika belajar, al-Ghazali menjelaskan ada 10 hal yang harus dilakukan oleh seorang pelajar yaitu:
Pertama, membersihkan jiwa dari kejelekan akhlak, dan keburukan sifat karena ilmu itu adalah ibadahnya hati, shalat secara samar dan kedekatan batin dengan Allah.
Kedua, menyedikitkan hubungannya dengan sanak keluarga dari hal keduniawian dan menjauhi keluarga serta kampung halamannya. Hal ini menurut al-Ghazali agar seorang pelajar bisa konsentrasi dalam apa yang menjadi fokusnya.
Ketiga, tidak sombong terhadap ilmu dan pula menjauhi tindakan tidak terpuji terhadap guru. Bahkan menurut al-Ghaza>li> seorang pelajar haruslah menyearhkan segala urusannya pada sang guru seperti layaknya seorang pasien yang menyerahkan segala urusannya pada dokter.
Keempat, menjaga diri dari mendengarkan perselisihan yang terjadi diantara manusia, karena hal itu dapat menyebabkan kebingungan, dan kebingungan pada tahap selanjutnya dapat menyebabkan pada kemalasan.
Kelima, tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga selesai dan mengetahui hakikatnya. Karena keberuntungan melakukan sesuatu itu adalah menyelami (tabahhur) dalam sesuatu yang dikerjakannya.
Keenam, janganlah mengkhususkan pada satu macam ilmu kecuali untuk tertib belajar.
Ketujuh, janga terburu-buru atau tergesa-gesa kecuali kita telah menguasai ilmu yang telah dipelajari sebelumnya. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah sistematik, satu bagian saling terkait dengan bagian yang lainnya.
Kedelapan, harus mengetahui sebab-sebab lebih mulianya suatu disiplin ilmu dari pada yang lainnya. Seorang murid terlebih dahulu harus mengkomparasikan akan pilihan prioritas ilmu yang akan dipelajari.
Kesembilan, pelurusan tujuan pendidikan hanya karena Allah dan bukan karena harta dan lain sebagainya.
Kesepuluh,harus mengetahui mana dari suatu disiplin ilmu yang lebih penting (yu’atsar al-rafi’ al-qarib ‘ala al-ba’id)
3. Etika Mengajar
Pertama, memperlakukan para murid dengan kasih saying seperti anaknya sendiri.
Kedua, mengikuti teladan Rasul, tidak mengharap upah, balasan ataupun ucapan terima kasih (ikhlas).
Ketiga, jangan lupa menasehati murid tentang hal-hal yang baik.
Keempat, jangan lupa menasehati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara terang-terangan tapi hendaknya gunakan sindiran. Jangan lupa untuk mengerjakannya terlebih dahulu karena pendidikan dengan sikap dan perbuatan jauh lebih efektif daripada perkataan
Kelima, jangan menghina disiplin ilmu lain.
Keenam, terangkanlah dengan kadar kemampuan akal murid. (Hal inilah yang dibut dalam balaghah sebagai kefashihan).
Ketujuh, hendaknya seorang guru harus mengajar muridnya yang pemula dengan pelajaran yang simpel dan mudah dipahami, karena jika pelajarannya terlalu muluk-muluk maka hal tersebut akan membuat murid merasa minder dan tidak percaya diri.
Kedelapan, seorang guru harus menjadi orang yang mengamalkan ilmunya.
C. Berbincang Tentang Pendidikan dalam kacamata al-Ghaza>li>
Ditilik dari Ihya’ bab I, al-Ghaza>li> adalah penganut kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia islam maka hukumnya wajib. Tidak terkecuali siapapun. Pula ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih) dan pendidikan bisa mewarnainya dengan hal-hal yang benar. Jadi kurang arif jika ada anggapan bahwa umat islam terbelakang gara-gara al-Ghaza>li>.
Dalam Ihya’ Ulumiddin, al-Ghaza>li> telah memakai kategorisasi ilmu akhrirat atau ilmu agama. Lagi disana, al-Ghaza>li> masih memakai kata fiqh sebagai pemahaman, faqih sebagai orang yang paham atau berilmu. Hal ini terlihat pada hadis yang dinukilnya,” man yurid Allahu bihi> khairanyufaqqihhu fi al-di>n”. Kata Alim dan Ulama’ juga masih diartikan sebagai cendekiawan atau orang yang berilmu. Hal ini bisa terlihat dari hadis yang dikutip oleh al-Ghaza>li>” yashfa’u yauma al-qiya>mati tsalatsatun; al-anbiya>’ tsumma al-ulama>’ tsumma al-shuhada>’”. Dan pula “fadlu al-mu’min al-‘alim ‘ala al-mu’min al-‘a>bid bisab’ina darajatan”. Sepertinya hingga masa al-Ghaza>li> kata Faqih dan Ulama’ belum secara khusus merujuk pada disiplin ilmu fiqh dan Ulama’ sebagai ahli ilmu agama. Walaupun hal-hal yang mengarah ke arah itu sudah ada.
Pembahasan al-Ghaza>li> tentang pendidikan meliputi tujuan pendidikan, metode belajar, metode mengajar, karakteristik dan kategorisasi keilmuan.
Tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghaza>li> adalah mencapai mardlatillah (Ridha Allah) dan haruslah dihindari dari tujuan-tujuan duniawi. Karena tujuan duniawi dapat merusak seluruh proses pendidikan. Dan dapat mendangkalkan arti pendidikan itu sendiri.
Dalam kategorisasi ilmu yang dilakukan, ilmu-ilmu agama menduduki peringkat pertama dan utama dalam pemikiran al-Ghaza>li>. Sehingga menurut al-Ghaza>li> selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’ . jadi dalam kategorisasi ilmu agamapun al-Ghaza>li> masih membaginya pada apa yang ia sebut demi kepentingan tertib belajar. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam kacamata al-Ghaza>li> karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, Sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia.
Disamping itu ia juga menjelaskan bagaimanakah seorang pelajar harus bersikap terhadap ilmu dan gurunya. Ia mengemukan metode belajar dan metode mengajar.Dan menurut penulis apa yang telah dikemukakan al-Ghaza>li> adalah lebih moderat ketimbang apa yang kemudian diterjemahkan ulang yang banyak penambahan sana sini oleh pengagumnya yang bernama al-Zarnuji yang lebih beroriantasi pada etika murid pada dunia tasawuf dan tarekat.
Penjelasan al-Ghaza>li> mencakup pula pada bagaimana seorang guru harus bersikap dan memperlakukan murid dalam pengajaran yang dilakukan, bahkan ia juga menyinggung metode pengajaran keteladanan dan kognitifistik. Selain itu ia juga memakai pendekatan behavioristik sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini tampak dalam pandangannya yang menyatakan jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang Guru mengapresiasi Murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan. Untuk bentuk pengapresiasian gaya al-Ghaza>li> tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward and panisment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawa>b (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping pendekatan behavioristik diatas, al-Ghaza>li> juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistic dan mengahrgai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghaza>li> tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu al-Ghaza>li> menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru.
Dalam pandangan al-Ghaza>li>, pendidikan tidak semata-mata suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah prose situ masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan.
Tapi hal yang paling Nampak dalam kacamata al-Ghaza>li> tentang pendidikan adalah bagaimana ia membangun karakter pendidikan, ia sangat konsisten dalam masalah etika pendidikan. Pembahasan masalah ahklak atau etika tidak saja tampak dalam Ihya’ Ulmuddin tapi juga di Ayyuha al-Walad , Mizan al-‘Amal dan Bidayah al-hidayah. Dalam kitab yang terkhir ini persinggungan alGhazali dengan tasawuf sangat kental sekali. Yang menarik dalam semua kitab ini al-Ghaza>li> menggunakan gaya narasi untuk mengungkapkan pemikirannya. Bahkan semenjak tahfut al-falasifah, ia tak segan menggunakan kata pengganti pertama berupa Aku atau Kita. malah dalam Ayyuha al-Walad, al-Ghaza>li> menggunakan kata penggati engkau untuk menyapa pembacanya. Gaya penyusunan seperti ini kemudian banyak diadopsi oleh para pendidik sesudahnya termasuk oleh Umar Baradja dalam kitab Akhlaq lil Banin dan Ahklaq lil Bana>t. Mungkin inilah metode yang benar menurut al-Ghaza>li> tentang belajar dan mengajar (pendidikan).
D. Penutup
Saya tidak tahu bagaimana menutup diskusi kita kali ini karena bagi saya pribadi, pembacaan atas al-Ghaza>li> adalah pembacaan yang belum tuntas. Tentu sangat riskan jika saya membuat kesimpulan tentang isi pikiran al-Ghaza>li> tentang pendidikan.
Yang mungkin saya lakukan adalah kesimpulan tentang apa yang saya paparkan dalam item sebelumnya, yaitu bahwa setidaknya pandangan al-Ghazali tentang pendidikan mencakup pada tujuan pendidikan; yaitu keridlaan Allah, metode pendidikan; dalam hal ini al-Ghazali bukanlah seorang pemikir pendidikan yang ekstrim terhadap satu metode dan menolak metode yang lain, ia banyak menggabungkan metode-metode yang ada untuk memperoleh hasil yang optimal, kategorisasi keilmuam; hal ini juga menjadi perhatian al-Ghazali dan dijelaskan secara panjang lebar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam, ihya’ ulumiddi>n. Da>r al-kita>b al-‘ilmiyah. Beirut-lebanon tanpa tahun.
Al-Ghaza>li,> Imam, Ayyuha al-Walad. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1986
Nakosten, Mehdi. Konstribusi Islam Atas Dunia Barat. Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Zamjani, Irsyad. Wacana Pendidikan Ghazali. Surabaya, Jurnal Studi Agama dan DEmokrasi erbang Vol-12,2002
Yaitu setelah ia berguru secara massif pada al-Juwainisejak usia 23 tahun sekaligus menjadi asistennya dalam mengajar di Nidzamiyah- Bagdad, al-Ghaza>li> sudah mulai menulis kitab dan mulai mendapatkan tempat di Nidzamiyah. saat Juwaini wafat pada 478 H/1085 M, al-Ghaza>li> yang baru berumur 28 tahun diangkat menjadi Guru Besar di Nidzamiyah.
Dalam cetakan ihya’ ulumiddi>n yang diterbitkan oleh da>r al-kita>b al-‘ilmiyah Beirut-lebanon tanpa tahun.
Irsyad zamjani Wacana Pendidikan Ghazali(Surabaya, Jurnal Studi Agama dan DEmokrasi erbang Vol-12,2002) 215-216
Lih. Al-Ghaza>li>, Ayyuha al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1986) bandingkan dengan terjemahannya yang dimuat oleh Mehdi Nakosten, Konstribusi Islam Atas Dunia Barat(Surabaya: Risalah Gusti, 1996)126-130
GURU
Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”.(Ramayulis,1982:42) Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi. (Ramayulis, 1998:36)
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik, Imam Al-Ghazali menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Tulisan berikut ini merupakan kutipan yang diambil oleh penulis dari buku Abuddin Nata (2000:95-99) ketika menjelaskan kriteria guru yang baik dari kitab Ihyaa Ulumuddin yang merupakan karya monumental Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Sengaja kutipan di bawah ini diberi sedikit komentar untuk lebih memperjelas maksud yang hendak disampaikan.
Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut :
Pertama, Jika praktek mengajar merupakan keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat bertaqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus diberi dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT,. Dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniaan. Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid yang memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran yang baik.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir, adalah guru yang tidak baik. (Al-Ghazali, t.th:50)
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya. (Al-Ghazali, t.th:51)
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabiat dan kejiawaannya muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebaliknya jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan usia, kejiwaan dan kemampuan intelektual siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.

0 komentar:

Posting Komentar