Kamis, 17 Februari 2011

Mencari Islam Indonesia

To Stand within tradition does not limit of knowledge, but makes it possible.
Hans G. Gadamer, truth and method, London, 1975, hal 324

Ada adagium yang diyakini kebenarannya di kalangan umat islam, yakni al-islam sholih fi kulli al-zaman wal-makan. Islam dipandang sebagai agama yang senantiasa sesuai, cocok, relevan di setiap konteks waktu dan ruang. Islam senantiasa meruang dan mewaktu. Tidak pernah ketinggalan zaman. Segala sesuatu telah diatur dalam Islam. Tidak ada yang tidak diatur dalam Islam. Dalam bahasa filsafat dikatakan sebagai membawa kebenaran perenial. Hadits nabi dalam haji wada’ atau isyarat Al Qur’an bahwa tidak ada satupun yang dilupakan oleh Alloh SWT dalam kitab suci, merupakan rujukan yang menjadi dasar keyakinan teologis di atas. Namun posisi ontologis dan epistemologis seperti ini bukan tanpa persoalan, bahkan problematik, ketika berhadapan dengan tradisi intelektual yang menolak dogmatisme tanpa rasionalitas.
Gempuran rasionalitas tersebut di satu sisi meninggalkan sekian persoalan yang nyaris tak kunjung usai, di sisi internal intelektual Islam memunculkan beragam penafsiran, mulai dari yang apologetic sampai kritis, yang datang silih berganti. Semuanya bernafas sama, berkehendak mempertahankan tesa di atas. Bedanya, pandangan yang konservatif datang tanpa reasoning memadahi, sedangkan pandangan yang, katakanlah, kritis, muncul dengan sekian tesa. Dari penafsiran yang canggih hingga ada yang mengatakan bahwa beberapa surat Al Qur’an sudah tidak relevan lagi, dan karenanya lebih baik “dielimininasi” dari kitab suci. Begitulah.
Hiruk pikuk tersebut pada awalnya terjadi di dunia Arab sana. Muncullah apa yang disebut dengan firoq (sekte-sekte/aliran-aliran) dalam Islam. Dalam ilmu kalam klasik, kita menjumpai mereka sebagai ahlus-sunnah, mu’tazilah, jabbariyyah, jahmiyyah, bathiniyyah, qodiriyyah, dhahiriyyah, syiah, sampai ikhwanus-shofa. Keberadaan berbagai aliran ini juga dikonfirmasi oleh sebuah hadits. Inilah yang disebut dengan, dalam bahasa postmodernisme, narasi-narasi besar, yang sesungguhnya menyembunyikan sekian varian. Maksudnya, konteks budaya, social, politik, ekonomi, bahasa, tradisi, dan sebagainnya, menghasilkan suatu manifestasi Islam yang amat beragam sekalipun masih dalam narasi besar di atas. Antropolog Geertz menyebut, Islam ala Jawa, Islam ala Maroko, dan lainnya, sebenarnya tetaplah Islam, hanya konteks budayanya yang menjadikan manifestasi empirisnya kelihatan berbeda.
Mengapa Islam yang satu menjadi berwarna-warna? Paling tidak terdapat dua sebab yang dapat menjelaskannya. Pertama, dampak dari tekanan eksternal, yaitu munculnya realitas social baru atau problem social baru yang meniscayakan penjelasan teologis, yang dalam bahasa sosiologi disebut sebagai social forces. Yang kedua, pengaruh tradisi intelektualisme baik yang berasal dari mistisime Persia, rasionalisme Yunani, maupun mistisisme India, atau intelectual forces. Juga karena dinamika intelektual Islam sendiri. Seperti terungkap dalam alasan Imam Malik menolak ketika mazhabnyaa hendak dinegarakan, dijadikan mazhab resmi negara. Alasannya, negaranisasi mazhab berimplikasi pada homogenisasi wacana, padahal, para sahabat sudah tersebar di berbagai daerah, yang tentu memiliki konstruks wacana tersendiri sesuai setting sosial kultural politiknya.
Sering dengan pergerakan manusia, baik karena factor militer, politik, maupun ekonomi, menyebarlah Islam. Ke Eropa, Afrika, juga Asia. Sampailah juga ke Indonesia, melalui Aceh, kemudian masuk ke Jawa. Sebagaimana di dunia Arab, Islam di Indonesia pun memiliki wajah yang beragam. Hanya saja keberagaman ini memiliki corak berbeda dengan dunia Arab. Islam Indonesia memang mengenal narasi-narasi besar di atas. Namun sebatas wacana. Dalam pengertian, diperoleh melalui kitab-kitab yang dibawa atau dipelajari di Arab. Bukan merupakan hasil teorisasi kenyataan social. Narasi-narasi tersebut tidak memiliki basis social signifikan di bumi Indonesia, sebagaimana di Arab.
Sedangkan arus utama keislaman yang berkembang dapat dikatakan dalam garis besar ahlus-sunnah. Dalam garis ini kemudian muncul apa yang dalam ilmu social dikategorikan sebagai Islam modernis dan Islam tradisionalis. Akar intelektual keduanya sama-sama dari dunia Arab. Aliran kecil lainnya juga berkembang, seperti syiah, ahmadiyyah, islam kejawen, dan lainnya, hingga sekarang. Masing-masing varian diusung bukan hanya oleh satu organisasi social keagamaan.
Dalam waktu yang cukup lama, diskursus Islam di Indonesia diwarnai oleh dikotomi tersebut. Sejak decade 90-an muncul warna baru dalam diskursus keislaman. Muncullah apa yang disebut dengan Islam pembebasan, Islam kiri, Islam progresif, Islam Liberal, Islam transformatif, Islam pluralis, islam postdogmatik, Islam emansipatoris, dan lainnya. Islam tradisionalisme, atau modernisme, sayup-sayup masih menunjukkan kekukuhannya di lapisan masyarakatnya masing-masing. Menjadi pijakan nilai, panduan keseharian, dan pusat orientasi hidup.
Seorang Islamolog, Dr Sunardi, memetakan kajian Islam di Indonesia berdasar basis epsitemologisnya. Pertama, islam yang berbasis ilmu-ilmu keislaman tradsional. Kedua, islam yang berbasis ilmu social humaniora. Ketiga, islam yang berbasis ilmu social kritis. Keempat, perkembangan terbaru, islam yang berbasis cultural studies. Pemetaan tersebut sebenarnya tidak saling berbenturan. Hanya saja, kajian yangt terakhir melihatnya dari sudut pandang epistemologis.
Pertanyaan yang menggelisahkan adalah, apakah warna-warni keislaman di atas, lebih merupakan kebutuhan obyektif, atau bagian dari fashion? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menyelami atau memahami struktur yang disebut dengan kebutuhan obyektif. Pemahaman akan “kebutuhan obyektif” inilah yang akan menghasilkan suatu formula Islam Indonesia yang indegenous. Di sini penulis hanya akan memberikan beberapa sketsa besar yang menjadi tantangan bagi pengembangan keislaman. Pijakannya adalah Islam sebagai rahmat semesta alam. Artinya, Islam yang dikembangkan di Indonesia, dengan melihat pluralisme agama, etnis, ras, kultur, adat istiadat, problematik sosial ekonomi, jelas mustahil jika berbentuk tunggal, homogen.
Pertama, problem ketidakadilan ekonomi politik yang secara massif melanda sebagian besar masyarakat Indonesia. Tradisi marxis menyebutnya sebagai problem penghisapan yang mendehumanisasi manusia. Jika dilihat dari basis sosialnya, inilah wacana keislaman yang dibutuhkan oleh masyarakat tertindas, akar rumput, atau dalam bahasa seorang penulis, disebut sebagai Islam proletar.
Kedua, problem modernitas sosial yang menggiring masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas dalam lautan kesadaran palsu, kultur konsumerisme, keterasingan, disorientasi, dan lainnya. Struktur, corak, dan format keislamannya memiliki karakter berbeda dengan yang pertama.
Keempat, problem pluralitas kebudayaan, lokalitas, etnisitas, dan lainnya yang memiliki “kuping epistemologis” berbeda-beda. Problem ini menerobos dua problem di atas. Gus Dur merespons problem ini dengan konsep pribumisasi Islam. Lokalitas ini, seiring dengan mengglobalnya dunia, semakin penting sebab akan menjadi “habitus kekuasaan” paling real dalam tata dunia.
Kelima, problem-problem kesetaraan, diskriminasi, isu-isu rasial, dan berbagai isu lainnya yang muncul seiring dengan berkembangnya life-style.
Keenam, problem terjadinya pergeseran zaman dari modernisme ke postmodernis. Pergeseran ini, menurut Bordieu, di tingkatan sosiologis menggeser pijakan manusia dalam bertindak dari berpijak pada nilai ke berpijak pada strategi. Di tingkatan moral, terjadi pergeseran dari semakin kabur dan tidak relevannya batasan baik-buruk, halal-haram.
Masuknya Islam di Indonesia dalam berbagai dataran tersebut akan meletakkaan Islam bukan hanya sebagai kekuatan moral, kekuatan nilai, tapi juga kekuatan politik yang mampu mendorong proses transformasi sosial masyarakat, baik dalam level global, nasional, maupun lokal. Untuk pengembangan ke arah sana, dibutuhkan setidaknya dua hal. Yaitu mentransformasikan tradisi Islam dari kritik moral ke kritik sosial. Untuk tugas yang satu ini, tradisi ilmu-ilmu kritis sudah tidak memadahi lagi, sebab sejauh ini, perkembangan paling canggih baru dalam tahapan kritik sosial, emansipasi, liberasi, dan lainnya. Sudah saatnya dikembangkan tradisi pasca-liberasi, pasca-kritis. Jika tidak, Islam Indonesia pun akan bernasib sama dengan filsafat, yang seperti dikatakan Hegel, laksana burung minerva, burung yang baru mau terbang ketika hari telah senja. Alias selalu terlambat. Kedua, seperti disarankan Sunardi, membangun dialog antar-tradisi intelektual yang telah berkembang di Indonesia. Bagaimana memulainya? Jika ingin kukuh, harus menjadikan tradisi (bukan tradiseonalisme), sebagai basis espistemologi sosial. Wallohu a’lam bis-showwab.
Mustafied, mantan ketua PMII Sleman-DIJ.



0 komentar:

Posting Komentar