Kamis, 17 Februari 2011

Kiri Islam Hassan Hanafi

Kazuo Shimogaki, pemerhati Timur Tengah asal JJepang, merasa terpesona pada pemikiran Hassan Hanafi dengan Kiri Islamnya. Kiri Islam berupaya menggali dan
mewujudkan makna revolusioner dari agama, sebagai konsekuensi dari
keberpihakannya kepada rakyat yang lemah dan tertindas (al-mustadl`afîn) .
Sehingga ia mendapatkan tempatnya tersendiri dalam konstelasi
"pemikiran-pemikiran alternatif".
"Kiri Islam bukanlah Islam yang berbaju Marxisme, karena itu menafikan makna
revolusioner dari Islam sendiri. Ia juga tidak berarti bentuk eklektik antara
Marxisme dengan Islam, karena hal demikian hanya menunjukkan bentuk pemikiran
yang tercerabut dari akar, tanpa pertautan yang erat dengan realitas kaum
muslimin. Namun jelas, Kiri Islam akan mengusik kemapanan: kemapanan politik dan
agama." Demikian tegas Kazuo Shimogaki dalam bukunya, yang diterjemahkan LKIS
Yogyakarta: Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis
Pemikiran Hassan Hanafi.
Buku tersebut diterjemahkan dari judul aslinya: Between Modernity and
Postmmodernity The Islamic Left and Dr Hassan Hanafi's Though: A Critical
Reading. Buku terjemahan yang menjadi best seller tersebut, dibedah dalam Talk
Show Khazanah Progresif, kerjasama P3M Jakarta dengan 97, 5 Jakarta News FM,
pada Senin - Jum'at, 7-11 Maret 2005, pukul 21.15 - 24.00 Wib yang lalu.
Radikalitas, progresivitas, kontekstual, dan resistensi yang menggelora terhadap
arus hegemoni peradaban Barat, adalah nuansa-nuansa Kiri Islam yang segera
menggeliatkan Shimogaki pada arus baru "dekonstruksi peradaban" yang dewasa ini
sangat deras mengalir dan dikenal luas sebagai gelombang "posmodernisme". Yaitu
rangkaian tendensi teoritik dalam berbagai bidang, baik seni maupun pengetahuan,
untuk membongkar "aporia" peradaban modern yang dibangun di atas landasan
humanisme dan rasionalisme dalam pikiran manusia dan membunyikan bias kekerasan
erosentrisme-imperialistik dalam wacana modernisme.
Menurut Kazuo, Hassan Hanafi meskipun menolak dan mengkritik Barat, namun ia tak
pelak lagi, terhadap ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme, dan
pencerahan yang telah mempengaruhi pemikirannya. Lanjut Shimogaki, Hassan Hanafi
tergolong seorang modernis-liberal, seperti Luthfi al-Sayyid, Thâha Husain, dan
al-Aqqâd. Salah satu keprihatinan utama Hassan Hanafi adalah bagaimana
melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam bergerak menuju
pencerahan yang menyeluruh. Lanjut Shimogaki, kita dapat menengarai tiga wajah
dalam rangka memantapkan posisi pemikirannya dalam dunia Islam, terutama dalam
kaitannya dengan Kiri Islam.
Wajah pertama, peranannya sebagai seorang revolusioner. Wajah kedua, sebagai
figur seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik, seperti Muhammad Abduh.
Wajah ketiga, sebagai penerus gerakan al-Afghani (1838-1896), yaitu dalam hal
perjuangan melawan imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam.
Sebagai seorang reformis pemikiran Islam, Hanafi mengunggulkan satu bagian dari
khazanah klasik yang berbasis pada rasionalisme, dan ia tidak kompatibel dengan
posmodernisme. Ini menurut Kazuo menjadi problem serius dalam pemikiran Hanafi.
Dalam hal kritik terhadap Barat, meskipun Hassan hanafi secara langsung dan
bersemangat mengkritik Barat, namun menurut Kazuo, ia tidak pernah
mendefinisikannya secara tuntas. Tapi itu, sangat dapat dimengerti, karena Barat
bagi Hanafi adalah sebuah entitas negara-negara atau entitas politik yang
terkait dengan imperialisme. Dengan demikian dalam pandangan Kiri Islam, Barat
adalah sebuah agregat dari suatu kawasan, rakyat, peradaban, masyarakat, dan
politik yang terkait dengan penjajahan. Ia menegaskan bahwa salah satu tugas
Kiri Islam adalah mengembalikan Barat pada batas alamiahnya. Ini tidak berarti
mengembalikan "Barat" secara geografis, tetapi menghalau segala pengaruh
kultural Barat yang merasuk ke dalam rusuk umat Islam dan bangsa-bangsa muslim
(hlm. 6)
Sekilas tentang Munculnya Kiri Islam
Kemunculan Kiri Islam diawali dengan jurnal berkalanya Hassan hanafi, berjudul
al-Yasâr al-Islâmî: Kitâbât fî al-Nahdlah al-Islâmiyyah (Kiri Islam: Beberapa
Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Di dalamnya didiskusikan
beberapa isu penting berkaitan dengan Kebangkitan Islam. Dapat dikatakan, secara
singkat Kiri Islam bertopang pada 3 (tiga) pilar untuk kebangkitan Islam:
mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan
umat. Pilar pertama, revitalitas khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan
perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam itu. Rasionalisme,
menurutnya, merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan serta
memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam.
Kedua, perlunya menantang peradaban Barat. Untuk ini, ia mengusulkan dan
mengusung "Oksidentalisme" sebagai jawaban "Orientalisme" dalam rangka
mengakhiri mitos peradaban Barat. Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam.
Untuk hal ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nashsh)
, dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat
berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi, dunia Islam kini sedang
menghadapi 3 (tiga) ancaman: yaitu (1) imperialisme, zionisme, dan kapitalisme
dari luar; (2) kemiskinan; (3) ketertindasan dan keterbelakangan dari dalam.
Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini. Dengan demikian, Kiri Islam
relevan diterapkan.
Menurut Hassan Hanafi, ada beberapa kecenderungan yang penting didiskusikan bagi
masa depan dunia Arab-Islam. Pertama, adanya kecenderungan kooptasi agama oleh
kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Kedua,
liberialisme, --di mana adalah subjek Hassan Hanafi. Ketiga, kecenderungan Marx
yang bertujuan memapankan suatu partai yang berjuang melawan kolonialisme, telah
menciptakan dampak-dampak tertentu, tapi belum cukup untuk membuka kemungkinan
berkembangnya khazanah intelektual muslim. Keempat, kecenderungan revolusioner
terakhir telah membawa banyak perubahan fundamental dalam struktur sosial dan
kebudayaan Arab-Islam, tapi perubahan ini tidak mempengaruhi kesadaran massa
muslim.
Oleh kerena itu, tujuan Kiri Islam adalah mengatasi kecenderungan-kecenderungan
itu dan merealisasikan tujuan-tujuannya, termasuk revolusi nasional yang
berbasis pada prinsip revolusi sosial melalui khazanah intelektual umat.
Menurut Shimogaki, dapat disimpulkan bahwa kemunculan sebuah jurnal baru,
seperti Kiri Islam itu, tepat waktu untuk mempengaruhi dunia Arab Islam (hlm. 9)

Di bab I buku ini, kazuo melihat kerangka metodologis Islam dan Posmodernisme.
Kiri Islam berpandangan Tauhid, baik dalam hubungan vertikal, maupun horizontal.
Dalam hubungan antara Tuhan dan dunia adalah hubungan antara Pencipta dan yang
diciptakan, jadi hubungan sebab dan akibat penciptaaan, bukan seperti sinar
terhadap lampu atau kesadaran manusia terhadap manusia. Dalam hal ini,
keberadaan manusia menjadi sangat relatif di hadapan Tuhan, dan setiap manusia
diciptakan langsung mempunyai hubungan dengan Tuhan. Mengenai yang kedua,
pandangan dunia Tauhid, dalam kehidupan sosial muslim adalah bahwa seluruh aspek
kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan ke dalam "jaringan relasional
Islam". Jaringan ini diderivasikan dari pandangan dunia Tauhid, yang mencakup
aspek-aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan materiil, sosial dan
individual. Jaringan relasional ini bisa diuji melalui ibadah (lima pilar
kewajiban Islam) yang diatur oleh syari'at Islam, yakni: syahadat, shalat, shaum
(puasa), zakat, dan haji.
Singkatnya, pandangan tauhid tidak memisahkan antara materi dan jiwa. Segala
sesuatu dipersatukan dalam zat yang transendental Tuhan. Semuanya sama di
hadapan-Nya. Menurut Kazuo, pandangan Tauhid juga sebuah pandangan relasional.
Dengan pandangan relasional ini, ulama menjadi penjaga agar syariat selalu
mengatur seluruh aspek kehidupan msulim yang berkenaan dengan lima pilar yang
diatur syariat. Meskipun kelima hal itu merupakan kewajiban "keagamaan" namun
tindakan kaum muslim tidak terbatas pada aspek kehidupan spiritual individu,
tetapi mencakup aspek-aspek fisik, sosial, bahkan ekonomi dan politik setiap
muslim.
Kekuasaan Barat telah merasuk kuat di dunia Islam. Dalam hal ini, menurut Kazuo
Shimogaki, "Kiri Islam adalah salah satu bentuk perlawanan. Kita mesti
membacanya dari sudut pandangan ini". Tegasnya.
Menurut Kazuo, karena adanya konfrontasi antara dunia Islam dan Barat, dan
perlawanan yang dihasilkan, metode analisis Hassan Hanafi tidak lagi mempunyai
pijakan relasional, meski ia menyerukan Revolusi Tauhid, yang secara teoritik
justeru relasional. Menurutnya, "Jika Hassan Hanafi menerapkan suatu metode
relasional, khususnya dalam membangun ilmu sosial baru dan mengkaji peradaban
barat, niscaya sarjana Muslim lain akan dapat menemukan perspektif baru dalam
kajian pandangan dunia Tauhid. Tidak hanya itu, ia akan memperoleh tanggapan
positif dari kalangan posmodernis di Barat". Demikian saran Kazuo.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

kapan buat...
siapa nih yang kelola blognya...!!!

Anonim mengatakan...

sofwan

wah keren juga.

Pak Sofyan mengatakan...

SUBSTANSI YANG ADA PADA "KIRI ISLAM" BAGAIMANA?

Pak Sofyan mengatakan...

SUBSTANSI YANG ADA PADA "KIRI ISLAM" BAGAIMANA?

Posting Komentar