Kamis, 17 Februari 2011

PEMIKIRAN PAULO FRAIRE

Sudah lama dunia pendidikan formal (sekolah) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi siswa didik dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan jatidiri. Sekolah tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para murid. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Imbasnya, mereka menjadi sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif dan mandiri. Mereka belum terbebas sepenuhnya dari suasana keterpasungan dan penindasan.
Yang lebih mencemaskan, dunia persekolahan kita dinilai hanya menjadi milik anak-anak orang kaya. Usai menuntut ilmu, mereka menjadi penindas-penindas baru sebagai efek domino dari proses dan sistem yang selama ini mereka dapatkan di sekolah. Sungguh sangat beralasan jika banyak pengamat pendidikan yang menilai bahwa dunia persekolahan kita selama ini hanya melahirkan kaum penindas. Sementara itu, anak-anak dari kalangan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki akses terhadap dunia pendidikan hanya akan menjadi kacung dan kaum tertindas.
Situasi keterpasungan dan ketertindasan yang berlangsung dalam dunia pendidikan kita, disadari atau tidak, telah menimbulkan resistensi dari para penggiat sosial. Mereka banyak merintis berdirinya pendidikan alternatif yang berupaya membebaskan peserta didik dari situasi keterpasungan dan penindasan. Kalau dalam dunia persekolahan kita identik dengan penyeragaman dan indoktrinasi, pendidikan alternatif mencoba memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan pelajaran yang disukai atau memilih jenis aktivitas yang sesuai dengan minat dan hobi mereka masing-masing, bebas upacara, bahkan bebas ujian. Tempat belajar pun tak selalu berada di sebuah gedung yang mentereng atau laboratorium ber-AC, tetapi bisa berlangsung di bawah jembatan, tepian rel kereta api, atau di gubug-gubug kardus.
Bisa jadi, maraknya pendidikan alternatif semacam itu terilhami oleh ide-ide cemerlang dari Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brasil. Ia dikenal sebagai seorang tokoh yang sangat kontroversial lantaran keberaniannya menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Sistem pendidikan yang ada dianggap sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin, tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena hanya menguntungkan penguasa, menurut Freire, pendidikan yang hanya melahirkan kaum penindas semacam itu harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.
Sekilas tentang Paulo Freire.
Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi.
Sambil kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959, lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran siswa didik menimbulkan kekhawatiran di kalangan penguasa. Oleh karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964, kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970.
Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan alternatif lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi terhadap filsafat pendidikan yang berporos pada pemahaman tentang manusia. Masyarakat feodal (hirarkis) merupakan struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, sehingga menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya, putaran waktu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan, sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari sepenuhnya. Dalam kebudayaan bisu semacam itu, kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas.Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka.
Untuk menguasai realitas hidup, termasuk menyadari kebisuan itu, bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang membuat siswa didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk membuat mereka mampu mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar, termasuk suara sang pendidik.
Dalam kondisi semacam itu, Freire terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Disebut pendidikan gaya bank, sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada siswa didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan, yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Siswa didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya siswa didik itu sendiri yang “disimpan” karena miskinnya daya cipta. Pendidikan gaya bank dinilai hanya menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Untuk menghapuskan pendidikan gaya bank, Freire menawarkan pendidikan alternatif melalui sistem pendidikan hadap-masalah. Dalam proses pendidikan semacam ini, kontradiksi guru-murid (guru menjadi sumber segala pengetahuan, sedangkan murid menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Siswa didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai objek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya, guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan siswa didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, siswa didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan pun tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket, tetapi sejumlah permasalahan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh siswa didik dalam konteksnya sehari-hari.
Quovadis Dunia Pendidikan Kita?
Lantas, adakah relevansi antara pendidikan alternatif ala Freire dan dunia pendidikan (formal) kita? Dari setting sosial dan kultural, struktur masyarakat kita memang berbeda dengan kondisi masyarakat Brasil. Namun, berdasarkan struktur hierarkis masyarakat kita yang cenderung bergaya feodal, agaknya pendidikan alternatif ala Freire bisa dijadikan sebagai bahan analogi dan refleksi terhadap dunia pendidikan kita yang dinilai belum mampu membebaskan siswa didik dari keterpasungan dan ketertindasan.
Konon, pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80% kekayaan Indonesia, padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru, baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesama kaum “tertindas”. Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari ketertindasannya.
Kritikan Freire agaknya masih cukup relevan jika kita kaitkan dengan fenomena korupsi yang dinilai sudah menjadi budaya yang mengakar dalam masyarakat kita. Korupsi dengan berbagai bentuknya merupakan manifestasi dari imbas proses pendidikan kita yang dianggap belum sanggup membebaskan dan mencerahkan siswa didik dari perilaku yang kerdil dan cacat moral. Mereka ingin menjadi neo-borjuis, neo-feodal, atau penindas-penindas baru secara instan melalui praktik korupsi sebagai upaya untuk mengembalikan modal sebagai dampak mahalnya biaya pendidikan. Quovadis dunia pendidikan (formal) kita kalau hanya melahirkan borjuis dan penindas-penindas baru?
Jangan salahkan pendidikan alternatif kalau dunia pendidikan (formal) kita gagal menyediakan tempat yang nyaman bagi masyarakat miskin untuk menimba ilmu. Jangan ratapi pula maraknya koruptor yang masih terus bebas melenggang mengemplang harta negara kalau tak ada perubahan mendasar dalam desain dan sistem pendidikan kita. Juga, jangan tangisi puluhan sarjana gadungan yang harus menggadaikan harkat dan martabat kemanusiaannya dengan membeli ijazah palsu kalau struktur masyarakat kita masih memberhalakan feodalisme dan borjuisme! ***

Judul Artikel : Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan
Topik : Pendidikan Dunia Ketiga
Pendidikan di Indonesia nampaknya sudah tidak berhasil ditinjau dari aspek pedagogis. Dunia pendidikan sekarang dinilai kering dari aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis sehingga seorang anak sekolah cenderung kerdil karena tidak mempunyai dunianya sendiri . Untuk itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam menjalankan proses belajar mengajar. Baru, dalam pengertian berbeda dari yang selama ini melembaga dalam duni pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan yang dinilai tepat dijalankan di dunia ketiga adalah konsep pendidikan Paulo Freire yang menganggap bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan .
Mengapa Paulo Freire
Paulo Freire dilahirkan 1921 di Recife, salah satu daerah paling miskin dan terbelakang di timur laut Brazil lewat karya pendidikannya dapat kita sebut sebagai bahwa pikirannya mewakili jawaban dari sebuah pikiran kreatif dan hati nurani yang peka akan kesengsaraan dan penderitaan luar biasa kaum tertindas di sekitarnya . Kondisi ketertindasannya di Recife tersebut cukup menggambarkan pola keumuman praktek pendidikan di dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Disanalah tumbuhnya kebudayaan bisu dikalangan orang-orang yang tertindas. Lebih jauh Paulo Freire mengungkapkan bahwa proses pendidikan -dalam hal ini hubungan guru-murid- di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai “celengan” dan guru sebagai “penabung”. Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan “gaya bank” tersebut.
1. Guru mengajar, murid diajar.
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bercerita, murid mendengarkan.
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
8. Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka. Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (konsientisasi). Menurutnya, konsientisasi merupakan proses kemanusiaan yang ekslusif.
Pendidikan Kita Anti Realitas
Potret buram pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya sangat fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya, pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak habis-habisnya.
Relitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin dan terbelakang tidak pula dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara untuk sekolah tinggi (baca pendidikan tinggi/perguruan tinggi), suatu ketika Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar, mengemukakan bahwa perkembangan perguruan tinggi negeri (PTN) akhir-akhir ini lebih mirip toko kelontong. PTN kini kian mengecil dan berkeping-keping dengan membuka sekaligus menawarkan aneka program studi jangka pendek dan program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu lebih berorientasi profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan ilmu.
Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai “korban penindasan”. Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal.


Metode Dialog : Hadap Masalah
Karena penyebab tidak berhasilnya pendidikan kita sebagai akibat dari penerapan metode pendidikan konvensional, anti dialog, proses penjinakan, pewarisan pengetahuan, dan tidak berumber pada satu realitas masyarakat, maka kini tiba saatnya kita untuk merefleksikannya. Mau tidak mau, pendidikan kini harus berangkat dari proses dialogis antar sesama subyek pendidikan. Dialog yang lahir sebagai buah dari pemikiran kritis sebagai refleksi atas realitas. Hanya dialoglah yang menuntut pemikiran kritis dan melahirkan komunikasi. Tanpa komunikasi tidak akan mungkin ada pendidikan sejati. Sebagai respon atas praktek pendidikan anti realitas, Freire mengharuskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada proses hadap masalah. Titik tolak penyusunan program pendidikan atau politik harus beranjak dari kekinian, eksistensial, dan konkrit yang mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat. Program tersebut diharapkan akan merangsang kesadaran rakyat dalam menghadapi tema-tema realitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan tujuan pembebasan dari pendidikan dialogis. Pendidikan yang membebaskan, menurut Freire, agar manusia merasa sebagai tuan bagi pemikirannya sendiri.
Secara umum praktek pendidikan sebagai mana yang lazim disebut sebagai metode-nilai pedagogis dapat kita rangkum dalam dua kata tadi, dialog dan hadap masalah. Entahpun pengembangan lainnya tentu saja dapat kita lakukan seiring kondisi yang bersangkutan.
Pendidikan Indonesia Masa Depan
Ketika memimpikan tentang pendidikan masa depan kita tidak dapat melepaskan sejarah masa lalu dan realitas yang melingkupi sekarang. Sejarah mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pendidikan. Hal ini berarti, perkembangan pendidikan merupakan fungsi perkembangan sejarah masyarakat. Pramoedya Ananta Toer mengemukakan bahwa keengganan kita belajar dari sejarah telah mengakibatkan kita menuai kegagalan sebagai bangsa disaat ini.
Beberapa penyebab diantaranya telah kita simak pada bagian terdahulu. Maka, pendidikan untuk masa depan haruslah mengindikasikan agar dunia pendidikan kita dibebaskan dari suasana bisnis, agen perpanjangan kapitalisme gaya baru : kapitalisme pendidikan. Kurikulum pendidikan juga sudah saatnya berangkat dari sebuah realitas masyarakat, penataan kembali pendidikan agama, penanaman demokrasi dan menumbuhkan pemikiran kritis. Karena tujuan pendidikan juga bukan hanya kognitif semata, maka tinjauan apektif harus pula dijadikan bahan acuan dalam menjalankan proses pendidikan. Pendidikan harus berangkat dan memupuk keterampilan sosial (sosial skills) dan keterampilan hidup (life skills).
Potret pendidikan kita dimasa depan adalah tergantung dari sekarang. Rancangan Undang Undang Sitem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang sampai saat ini tetap menjadi polemik, mudah-mudahan dapat menjawab permasalahan pendidikan kita. Semoga, tidak ada lagi pertanyaan yang menggugat eksistensi lembaga pendidikan seperti yang ungkapkan Roem Topatimasang, “Jika sekarang banyak orang berwatak dan bersikap ‘setengah manusia, seperempat binatang, dan seperempat lagi setan’, merupakan hasil bentukan sekolah (baca : pendidikan, penulis) ? “

0 komentar:

Posting Komentar