Kamis, 17 Februari 2011

KONTEKSTUALISASI ASWAJA

Setiap pelatihan, kaderisasi, atau forum-forum ilmiah di NU dan organisasi underbow-nya tidak lepas dari yang namanya Ahlus-sunnah wal-jamaah. Seringkali disingkat dengan Aswaja. Menjadi materi wajib. Bahkan ke-NU-an seseorang diukur juga dengan pemahaman dan praktek ubudiyyah dengan aswaja. Hanya saja saying. Sebagian besar warga NU memahami aswaja secara dangkal. Akibatnya, aswaja mengalami konservatifme. Menjadi wacana agama yang banyak diulang-ulang, menjadi retorika (al-qiroah al-mukarriroh). Namun hampir tidak terkait dengan realitas social yang sebenarnya yang terjadi di masyarakat. Wacana aswaja tidak menjadi landasan kesadaran dalam bertindak, berpolitik, berorganisasi, kecuali dalam wilayah yang amat sempit dan personal: ibadah.
Kedangkalan tersebut dapat dilihat ketika memahami Aswaja sebatas pemahaman mazhabi. Aswaja dipahami sebagai mazhab fiqh yang mengacu ke empat imam, mazhab kalam yang mengacu ke Al-Asy'ari dan Al-Maturidi, serta , Mazhab Tashawwuf yang mengacu ke Imam Ghozali dan Imam Baghdadi. Bahkan banyak yang lebih parah lagi, mengidentikan ahlus-sunnah dengan qunut, tarawih, khaul, dan lainnya.
Pemahaman di atas, bagi masyarakat awam, yang tidak mendapatkan akses pendidikan keagamaan memadahi, dapat dipahami. Namun menjadi masalah jika pemahaman yang sama juga menjadi mainstream bagi aktifis organisasi seperti muslimat. Maka, dibutuhkan upaya kontekstualisasi Aswaja dalam kerangka organisasi social keagamaan seperti muslimat. Sehingga pemahaman Aswaja lebih maju dan benar-benar menjadi landasan kesadaran berorganisasi. Untuk kearah tersebut dibutuhkan penelusuran sejenak sehingga dipahami posisi Aswaja yang sesungguhnya, untuk kemudian ditafsir ulang agar kontesktual.

Memahami Konteks Sejarah Aswaja
Aswaja terkait dengan kehidupan social politik. Kelahirannya di tengah-tengah pergulatan politik pasca-wafatnya Nabi saw. Sebagaimana diketahui, pasca-wafatnya Rasululloh saw, sempat muncul pertemuan Tsaqifah Bani Sa'diyyah, dari golongan Anshor yang melontarkan penyataan "minna amir waminkum amir." Kemelut politik ini selesai dengan terpilihnya sahabat Abu Bakar dengan landasan teologis Al-aimmath min-quroisyin."
Sepeninggal Abu Bakar r.a ( 13 H), kepemimpinan dipegang oleh sahabat Umar r.a. karena washiyyath Abu Bakar r.a yang menunjuknya sebagai waliyyul 'ahd. Sahabat Umar r.a memimpin khilafah selama 10 tahun dengan prestasi gemilang. Terkenal tegas, adil, pemberani, juga inovatif, termasuk dalam ijtihad. Beliau wafat tahun 23 H karena tusukan pedang Abu Lu'lu Al-Majusy dari Persia ketika jamaah sholat subuh. Sebelum wafat, sahabat Umar sempat berwashiyath menunjuk enam formatur untuk memilih penggantinya. Salah satu keteladan politiknya adalah, beliau membolehkan putranya Abdullah Ibn Umar menjadi anggota ahlul-halli wal-aqdi (memiliki hak suara), namun tidak diperbolehkan untuk dipilih, meskipun kapasitasnya memadahi. Muncul dua kandidat kuat: Ali Bin Abi Thalib k.a dan Utsman bin Affan ra. Akhirnya terpilih sahabat Utsman r.a. Di era ini mulai muncul gejolak politik seperti di Mesir, Kufah, dan Bashrah. Gejolak ini memuncak dengan wafatnya sahabat Utsman dalam pertikaian politik tersebut.
Setelah wafatnya sahabat Utsman r.a, sahabat Thalhah, Zubari, Sa'ad bin Abi waqqos, dan Ibn Umar mengangkat dan membaiat sahabat Ali bin ABi Thalib sebagai khalifah. Gejolak politik dimulai dengan tidak mau tunduknya (tidak ikut berbaiat) Mu'awiyyah bin Abi Sufyan yang memerintah Syiria. Gejolak berikutnya terjadi dalam perang Jamal yang melibatkan sahabat Thalhah, Zubair, dan Siti Aisyah r.a. Kemudian perang shiffien yang hampir dimenangkan pasukan Ali k.a. sebelum dihentikan oleh taktik Amr bin Ash dengan mengangkat Al Qur'an sebagai tanda perdamaian.
Peristiwa inilah yang mengawali gejolak politik dunia Islam yang melahirkan sekte-sekte (firoq) dalam Islam. Mereka yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) menjadi kelompok khowarij, mereka yang membela dengan penuh semangat kebijakan khalifah berkembang menjadi Syiah. Mu'awiyyah yang memenangkan perundingan politik, kemudian menjadi khalifah, mengembangkan doktrin politik jabbariyah sebagai legitimasi teologisnya.

0 komentar:

Posting Komentar